Jumat, 29 Mei 2009

Koran, Kaos Kenangan dan Saksi Sejarah

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Koran di lampu merah. Kalau Anda wartawan, waspadalah. Ancaman bagi profesi Anda bukan hanya datang dari penguasa dan kroni-kroninya yang korup, seperti terjadi di Bali, tetapi juga dari teknologi.

Dalam acara konferensi tahunan News Communication Forum 2009, seorang pembicaranya, Paul Gillin, mengajukan makalah berjudul “World Without Media: What Will Fill The Void?” yang mampu membuat miris mereka yang berkiprah di industri media.

“Kita menjadi saksi keruntuhan secara cepat lembaga-lembaga media yang berumur lebih dari satu abad. Industri koran dewasa ini mengalami proses ritual keruntuhan. Pasar penyiaran,broadcast, tercabik-cabik dalam pelbagai keping minat.

Generasi konsumen masa datang akan mengandalkan pada teman-temannya yang tergabung dalam media sosial Facebook untuk menerima informasi yang semula disampaikan oleh koran The New York Times,” demikian tulis Paul Gillin.

Bila ramalan itu terjadi segera dan koran-koran pun bertumbangan, apakah Anda telah memiliki sesuatu memorabilia untuk mengenang eksistensi mereka ? Dalam bentuk kaos, saya pernah memiliki beberapa yang kiranya dapat diaduk sana-sini untuk bisa dijadikan sekadar cerita.

Kaos anti korupsi. Kalau ingatan saya mampu bekerja baik, kaos yang dikeluarkan penerbit koran dan saya miliki pertama kali, adalah kaos dari harian Kompas. Pemberian Efix Mulyadi, wartawan Kompas yang kini Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta. Tahun 1979. Saat itu saya masih “nyeniman” di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta.

Kaos putih, dengan ilustrasi kartun GM Soedarta, bergambar wanita seksi sedang menghitung-hitung lembaran uang. Teksnya berbahasa Inggris : Beauty Is Not For This !. Dalam pemahaman saya saat itu, kaos ini memromosikan pesan kampanye anti korupsi.

Kaos ini pernah saya pakai untuk apel, sambil degdegan, menemui Miduk (“bayangkan dirinya punya senyum indah seperti milik Emma Bunton dari Spice Girls”) di Purwotomo, Solo. Ia sempat mengomentari teks kaos saya itu. Sayang saat itu ia sudah punya acara date, keluar rumah bersama teman sekantornya.

Saya pun kemudian menemani adik terkecilnya, Krisandari. Menemani untuk belajar tentang biologi (“apa manfaat tulang sampai manfaat kulit”), pelajaran murid klas VI SD Mangkubumen 15, Solo.

Promosi Fokus. Kaos dari media yang kedua adalah dari majalah Fokus. Tahun 1980-an. Warna abu-abu, berkrah, bertuliskan “Majalah Berita Mingguan FOKUS” warna hitam di punggung.

Kaos itu pemberian dari rekan kuliah di UI, Subagyo Ramelan, yang saat itu nyambi menjadi pustakawan di majalah Fokus tersebut. Salah satu redaktur Fokus adalah penyair Sutardji Calzoum Bachri yang pernah saya temui di American Cultural Center, Wisma Metropolitan II saat itu.

Kaos Fokus ini saya (dalam foto : bertopi) pakai tanggal 11 November 1982. Ketika itu bersama rekan kuliah, bertiga, tur ke Cilacap. Saya bersama Bakhuri Jamaluddin (berkaos hitam) dan Hartadi Wibowo (berkaos motif garis). Bakhuri, kelahiran Salatiga tetapi suka mengaku sebagai wong Solo, pensiunan auditor ahli madya dari Departemen Kesehatan RI. Ketua Dewan Redaksi Bulletin Inforwas Itjen Depkes ini juga menulis buku Bunga Rampai Pengawasan Kesehatan (Media Medika, 2007). Kini keduanya lebih afdol bila disapa dengan tambahan panggilan Pak Haji.

Kami bertiga puter-puter Cilacap. Antara lain mengunjungi komplek Benteng Pendem, peninggalan tentara Jepang, melihat Segara Anakan, dan memutari bibir pantai di mana di seberangnya nampak pulau yang terkenal di kalangan kaum kriminal dan koruptor kelas kakap : Nusakambangan.

Hari suporter nasional. Kaos koran ketiga saya, hadiah dari harian Bisnis Indonesia. Sebagai suporter Pasoepati, pendukung tim Pelita Solo, saya dan Mayor Haristanto (Presiden Pasoepati) bertandang ke Jakarta, 9-13 Juli 2000. Selain ke Senayan untuk menonton babak 8 Besar Liga Indonesia 2000, kami punya agenda lain.

Tanggal 12 Juli 2000 atas prakarsa redaktur sepakbola nasional Tabloid BOLA, Sigit Nugroho, para suporter pendukung tim yang sedang berlaga itu bertemu di kantor redaksi BOLA. Selain Pasoepati dari Solo dan Jakarta, hadir juga rekan-rekan dari Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta) dan Viking Jabodetabek. Dalam pertemuan itu saya mengusulkan, agar tanggal 12 Juli didaulat sebagai Hari Suporter Nasional. Secara aklamasi, semua yang hadir menyetujui. Gagasan saya ini kemudian tercatat pula di MURI.

Photobucket

Di antara hari-hari kami di Jakarta, saya dan Mayor sempat main pula ke kantor redaksi Harian Bisnis Indonesia, di Slipi. Kami datangnya pagi hari, saat para wartawan dan utamanya redaktur olahraganya, belum hadir. Ditemui oleh kepala bagian promosi yang kami kenal, karena ia pernah bertugas di koran Solopos, kami pun bertukar cenderamata, kaos Pasoepati ditukar dengan kaos Bisnis Indonesia (foto).

Kaos BOLA. Kaos (dari) koran saya berikutnya, 2002, memajang headmast koran dari Solo : Solopos. Ini akan menjadi cerita tersendiri. Selanjutnya, kaos dari media yang banyak saya miliki berasal dari tabloid BOLA.

Penyebabnya adalah, adik saya Broto Happy W., bekerja sebagai wartawan BOLA. Terlebih lagi, tabloid olahraga satu ini juga memiliki cabang usaha penjualan merchandising khusus BOLA.

Pada awalnya bisnis ini laris-manis. Termasuk sampai membuka gerai perwakilannya di Bandung, Yogya, juga di bekas markas Pasoepati, di Nayu, Solo. Sayang, bisnis ini kemudian ditutup. Kaos BOLA saya yang terakhir (foto paling atas) berupa kaos edisi peringatan saat tabloid itu memeringati HUT-nya yang ke-20, tahun 2004 yang lalu.

Hemat saya, ceruk bisnis untuk kaos-kaos bertema olahraga di Indonesia masih terbuka. Bahkan tiap cabang olahraga, menantang untuk diterjuni. Tetapi tentu saja dengan sentuhan kreativitas yang lain, serta tidak mengulangi lagi pendekatan seperti Tabloid BOLA tersebut. Jauh hari, saat usaha itu belum dilikuidasi, saya pernah kirim email ke BOLA tentang gagasan-gagasan baru untuk tema kaos mereka. Entah kenapa, tetapi tidak ada respon saat itu.

Kaos untuk loper ? Selain kaos dari Kompas 1979 di atas, saya berpendapat bahwa kaos-kaos yang diproduksi pelbagai penerbit media itu masih nampak tidak digagas secara serius dan kreatif. Jadi nasibnya, kaos-kaos itu sepertinya hanya cocok untuk dikenakan para loper koran belaka. Atau untuk para petugas kebersihan gedung kantor media. Mereka mendapatkannya secara gratisan.

Memanglah : apa sih menariknya bila pada kaos-kaos itu hanya terpajang nama koran bersangkutan ?

Ketika berkesempatan berkunjung ke ruang-ruang redaksi media massa, sepanjang yang saya pernah lihat dan amati, saya merasa jarang sekali dan bahkan boleh dikata tidak pernah melihat wartawan mengenakan kaos yang memajang nama media tempat mereka bekerja. Kalau orang dalam sendiri tidak suka, tidak tertarik dan tidak berbangga mengenakannya, apalagi untuk orang diluarnya ?

Kacamata konsumen. Mungkinkah, antara lain karena hal vital semacam di atas yang membuat bisnis merchandising termasuk kaos-kaos dari Tabloid BOLA itu misalnya, menjadi tidak prospektif, tidak lagi menguntungkan, dan akhirnya diputuskan untuk dimatikan ?

Pakar pemasaran Al Ries dan Jack Tout dalam bukunya Positioning : The Battle for Your Mind (1986) punya cerita yang kiranya menarik untuk disimak. Sekadar info : buku ini saya beli di Jakarta, 8 Juni 1987. Ada catatan sejarah pembelian buku itu sebagai : “Bonus bisnis sweater Tour Jawa-Bali 1987 SMA Tarakanita 2 Jakarta, 18 Juni – 29 Juni 1987.”

Saat itu saya mengelola klub penggemar kaos, Ideas T-Shirt Club (ITSC), dan salah satu anggotanya (“anggota tersayang”) merekomendasikan sekolahnya untuk membuatkan kaos tur itu pada ITSC.

Kembali ke Ries dan Trout. Keduanya berbicara mengenai perbedaan antara pola pikir inside-out thinking versus pola pikir outside-in thinking. Pola pikir pertama seringkali tidak disadari meracuni para pebisnis. Mereka, para produsen itu, tampil sebagai diktator selera.

Intinya, hanya dengan memajang nama media atau nama koran mereka di kaos, mereka berpikir orang lain akan menyukai dan bersedia mengenakannya. Hemat saya, itulah yang selama ini umum terjadi pada penerbitan kaos-kaos pada penerbit media kita. Termasuk pada kaos hadiah dari koran Bisnis Indonesia di atas.

Sementara itu kebalikannya, mereka yang menganut pola pikir yang kedua, bisa kita lihat buktinya pada kaos yang diterbitkan oleh koran The Washington Post. Mengambil momentum yang tepat, sesuatu yang berharga dan dikenal akrab oleh kalangan media, mereka kemudian memindahkan isi liputan korannya ke media kaos, dan menjualnya sebagai memorabilia.

Mereka memproduksi kaos itu dengan memperhatikan isu besar, denyut, kata hati sekaligus pandangan pembaca terhadap peristiwa besar tertentu yang menjadi liputannya.

Terlebih lagi peristiwanya memang sangat fenomental dan bersejarah. Menyangkut prestasi seorang Barack Obama sebagai warga negara berkulit hitam pertama yang menjadi presiden di negara adi daya, Amerika Serikat.

Jadilah kaos tersebut mampu menjadi benda bersejarah, yang bernilai tinggi. Baik sebagai kenangan dan juga terkait dengan nilai finansialnya kelak, berpuluh tahun kemudian, sebagai ikon sejarah. Seorang blogger kaos “Rude Retro” mengomentari kaos itu : Be a part of history with this limited edition Washington Post newspaper today.

Kaos yang dibuat dengan kreativitas dan wawasan mendalam memang mampu pula menjadi ikon sejarah. Saya pun hanya bisa bergumam : suasana pemilu umum presiden Indonesia 2009 kini sedang menuju titik didihnya dan tidakkah momen seperti ini mampu mengilhami media massa, atau produsen kaos topikal, untuk mengabadikannya ?


Wonogiri, 29/5/2009

kk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar