Minggu, 10 Mei 2009

Kaos Sevilla, Kisah Cinta, Kisah Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com


Mata biru Spanyol. Ancaman pandemi flu babi kini sedang menghantui dunia. Beritanya sendiri, berita mengenai ancamannya oleh sebagian pengamat dinilai lebih menebarkan ketakutan dibanding penyakitnya. Tak ayal histeria semacam ini jadi bahan olok-olokan para komedian. Misalnya Jay Leno.

Ia bilang : “Selamat menikmati liburan musim panas. Saya tidak tahu akan pergi kemana. Yang pasti saya terjepit untuk memilih liburan antara naik kapal pesiar dekat pantai Somalia atau mengunjungi peternakan babi di Meksiko.”

Meksiko, yang menjadi awal penyebaran virus flu yang berlabel H1N1 ini, memang sedang menjadi bangsa paria. Setiap bandara di dunia akan mewaspadai dan memeriksa setiap penumpang yang baru datang dari negeri sombrero itu. Apakah Mexico kini sedang dikutuk oleh Tuhan ? Porfirio Diaz (1830–1915), pejuang revolusioner yang pernah menjadi presiden Mexico tahun 1877-1880 dan 1884-1911, pernah berujar : “Meksiko yang malang, begitu jauh dari Tuhan dan begitu dekat dengan Amerika Serikat.”

Kedekatan Meksiko dan AS, boleh jadi, dapat disimbolkan dalam lagu cinta yang terkenal : Spanish Eyes. “Mata biru Spanyol adalah mata paling indah dari seluruh Meksiko. Mata Spanyol Sejati sunggingkan senyum padaku sebelum aku pergi. Segera aku kan kembali, memberimu seluruh cinta yang mampu memenuhi hatimu.Kumohon katakan ya, ya. Katakan kau dan mata Spanyolmu akan menunggu kedatanganku.”

Please say si- si,
Say you and your Spanish eyes will wait for me

Photobucket

Miraflores Gypsy. Kata si berasal dari bahasa Spanyol. Artinya : ya. Kalau kata no do , yang terpampang di kaos ini, apa artinya ? Orang Meksiko pasti bisa menjawabnya.

Negeri asal pesepakbola Cuauhtemoc Blanco yang terkenal dengan aksi bunny hopping-nya ini pernah dijajah Spanyol sejak tahun 1521 dengan penaklukan oleh Hernando Cortez. Apakah kapal dari adegan terakhir film Apocalypto-nya Mel Gibson itu juga menggambarkan kedatangan conquistador Cortez ini ? Mexico merdeka tahun 1821.

Tak usah harus Ke Mexico, dengan resiko tertular flu babi, untuk tahu arti kata yang terpampang di kaos saya ini. Apalagi kaos ini juga tidak dibeli di Meksiko. Kaos ini dibeli di Sevilla, ibukota kawasan Andalusia di Spanyol bagian selatan. Kawasan yang kental dengan budaya Islam yang mendominasi sejak kehadiran bangsa Moor pada abad ke-8. Juga terkenal dengan sajian tari flamenco yang berakar dari budaya kaum gipsi di Andalusia.

Cerita tentang tarian flamenco yang bergairah itu mampu melemparkan saya untuk mengenang salah satu film yang terindah : The Miracle (1959). Dibintangi oleh Caroll Baker, Roger Moore dan Vittorio Gazman. Saya menontonnya tahun 70-an di Solo, di gedung bioskop UP, yang setiap pembukaannya selalu memutar lagu instrumentalia dari Glenn Miller.

Gedung bioskop ini penuh kenangan. Saya pernah menulis surat pembaca, isi protes. Pasalnya, saat film mendekati akhir dan tentu saja klimaks, petugas sudah menggeser tirai pintu keluar. Suaranya lumayan keras. Bagi saya ini teror, sangat mengganggu kenikmatan, karena mengisyaratkan film akan segera usai.

Saya juga protes karena credit title tidak ditayangkan penuh. Sebagai orang yang suka mengamati, menulis dan bercerita, data kasting sampai judul-judul lagu dalam film tersebut, menjadi perhatian saya. Syukurlah, surat pembaca saya itu diperhatikan oleh manajemen bioskop Ura Patria (UP) saat itu. Kini gedung UP tersebut tinggal kenangan. Sudah digantikan oleh ruko alat-alat elektronik.

Film The Miracle berkisah mengenai kisah cinta antara biarawati Spanyol dengan opsir Inggris muda dengan latar belakang Perang Napoleon. Ketika biarawati itu, Teresa, sedang diamuk asmara dan memutuskan keluar dari biara untuk menyusul sang kekasih, terjadilah hal yang luar biasa. Patung Bunda Maria yang berada di kompleks itu menjadi hidup, menjadi manusia, menggantikan Teresa yang pergi.

Mengiringi patung suci yang menghilang itu telah turun hujan deras. Tetapi merupakan hujan yang terakhir, karena daerah itu beruntun dirundung bencana demi bencana, antara lain kekeringan yang dahsyat. Hidup Teresa pun, setelah kabur dari biara, penuh dengan gelombang, drama dan romantika.

Ketika mendengar kabar bahwa kekasihnya sudah tewas, ia lalu berganti-ganti jatuh dalam pelukan pria lain. Ia bergabung dalam kelompok kesenian gipsi, keliling Eropa. Ia terkenal dengan sebutan gipsi Miraflores. Kekasih gipsinya tewas, ditembak saudaranya sendiri yang cemburu. Teresa kemudian jatuh cinta dengan seorang matador. Mungkin takdir, siapa saja yang mencintai dirinya akan menderita bencana yang sama : tewas. Matador kekasihnya kali ini, tewas diseruduk banteng di arena.

Opsir Inggris, cinta pertamanya itu, ternyata masih hidup. Mereka bisa bertemu, ketika kekasihnya menjelang berangkat ke medan perang. Inggris lawan Perancis. Perang Waterloo. Tetapi Teresa yang tahu bahwa kematian pasti akan menghampiri sang kekasih, ia memutuskan diam-diam untuk meninggalkannya. Ia meninggalkan surat. Kekasihnya tertembak di peperangan, tetapi selamat. Saat itu Teresa bersiteguh memilih kembali untuk mengabdi Tuhan. Teresa pun menempuh perjalanan kembali ke biaranya semula.

Saat ia tiba, hujan deras turun. Patung Bunda Maria yang selama ini hilang, hadir kembali. Warga desa itu bahagia ketika kembali hujan turun, kejadian yang bertahun-tahun tidak mereka alami. Keajaiban memang telah terjadi.


Pemberontak Basque. Kisah mengenai biarawati, bahkan empat orang, yang juga penuh gejolak dihadirkan oleh Sidney Sheldon (1917-2007) dalam novelnya The Sands of Time (1988). Diterjemahkan dengan judul Butir-butir Waktu, pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas. Diterjemahkan, kalau ingatan saya masih baik, oleh Gyani Buditjahya, yang dalam suatu acara pameran buku di Jakarta saya pernah bertemu dan memujinya.

Potongan cerita dari novel indah dan mencengkam ini, dengan latar belakang pemberontakan kaum Basque di Spanyol Utara, menjadi inspirasi saya ketika mendeklarasikan tanggal 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional. Bahkan juga saya ungkap kembali ketika mengikuti kontes impian yang diadakan oleh fabrikan mobil Honda di Indonesia, dalam ajang The Power of Dreams Contest 2002.

Saya mengajukan impian mengubah budaya suporter sepakbola kita yang destruktif menjadi pelaku hiburan kolosal yang atraktif dan sportif dalam totalitas pemanggungan teater sepakbola Indonesia.

Intinya adalah, dengan mengambil tamsil adu banteng di Spanyol, selama ini dua kesebelasan yang bertanding ibarat banteng melawan matador. Kita para penonton hanya berstatus sebagai penonton. Titik. Tetapi di Spanyol juga, di Pamplona, ada ritus pertunjukan adu banteng yang lain, yang tidak kalah atraktif dan brutalnya.

Yaitu adegan ketika banteng-banteng ganas dilepaskan untuk mengamuk, menyusuri lorong-lorong kota Pamplona.Dalam novel The Sands of Time peristiwa itu menjadi latar belakang pembebasan pentolan pemberontak Basque (Juan Miro) dari penjara. Gemuruh dan gairah para penonton yang berlarian untuk menggoda sekaligus menghindari serudukan banteng, menghadirkan peran ganda : mereka sebagai penonton dan sekaligus juga sebagai pelaku pertunjukan.


Tesis saya, adu banteng a la Pamplona itulah seharusnya yang dianut oleh suporter sepakbola Indonesia. Bahkan juga suporter sepakbola seluruh dunia. Biarlah kedua tim yang bertanding berjalan sesuai aturan, secara profesional, sementara para suporter menghadirkan dirinya sebagai pelaku utama dari totalitas teater sepakbola dengan aksi-aksi yang dirancang secara mandiri. Ketika para pemain bertanding, para suporter kedua belah fihak beradu konser, baik nyanyi dan koreografi, sehingga mampu membakar atmosfir stadion dalam gairah dan sportivitas.

Impian dan cita-cita saya ini (dalam foto saya memegang trofi yang ada tanda tangan pendiri Honda, Soichiro Honda dan tulisan kanji bermakna “impian”) telah didokumentasikan dalam film The Power of Dreams Documentary 2002, ditayangkan satu jam penuh di TransTV, 29 Juli 2002. Impian itu memang masih jauh menjadi kenyataan dalam atmosfir sepakbola Indonesia saat ini.

Baiklah. Film dokumentasi dalam bahasa Spanyol diterjemahkan sebagai no do. Atau dalam bahasa Inggris adalah : newsreels. Secara sepintas, ketika belum membuka-buka kamus Spanyol-Inggris, saya tidak tahu apa pesan yang tertera di kaos satu ini.

Kaos ini, yang terbeli oleh adik saya Broto Happy W. ketika meliput turnamen bulutangkis kelas dunia (Piala Sudirman ?) di Sevilla, saya lupa tahunnya. Kalau ada data baru, nanti akan saya revisi. Saya juga tidak atau belum tahu, mengapa kota Sevilla ini begitu mempromosikan no do ini kepada para wisatawan. Apakah kota ini terkenal sebagai pusat arsip film Spanyol dan Eropa ?

Sebagai pencinta kaos, saya hanya mampu bergumam : desain yang sederhana dan menarik, walau tanpa memahami artinya, konsumen ternyata tetap membelinya. Tentu saja, daya tariknya yang utama adalah nama kota yang tercantum di dalamnya : Sevilla.

Tapi ngomong-ngomong, dengan ornamen yang sama, ketika kata no do saya ganti, misalnya dengan kata dadung, yang artinya tali, atau diganti dengan kata nodong, dan kotanya saya ganti dengan Wonogiri, kira-kira adakah wisatawan yang mau membelinya ? Pertanyaan yang ngawur dan asal-asalan.


Wonogiri, 11 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar