Jumat, 29 Mei 2009

Koran, Kaos Kenangan dan Saksi Sejarah

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Koran di lampu merah. Kalau Anda wartawan, waspadalah. Ancaman bagi profesi Anda bukan hanya datang dari penguasa dan kroni-kroninya yang korup, seperti terjadi di Bali, tetapi juga dari teknologi.

Dalam acara konferensi tahunan News Communication Forum 2009, seorang pembicaranya, Paul Gillin, mengajukan makalah berjudul “World Without Media: What Will Fill The Void?” yang mampu membuat miris mereka yang berkiprah di industri media.

“Kita menjadi saksi keruntuhan secara cepat lembaga-lembaga media yang berumur lebih dari satu abad. Industri koran dewasa ini mengalami proses ritual keruntuhan. Pasar penyiaran,broadcast, tercabik-cabik dalam pelbagai keping minat.

Generasi konsumen masa datang akan mengandalkan pada teman-temannya yang tergabung dalam media sosial Facebook untuk menerima informasi yang semula disampaikan oleh koran The New York Times,” demikian tulis Paul Gillin.

Bila ramalan itu terjadi segera dan koran-koran pun bertumbangan, apakah Anda telah memiliki sesuatu memorabilia untuk mengenang eksistensi mereka ? Dalam bentuk kaos, saya pernah memiliki beberapa yang kiranya dapat diaduk sana-sini untuk bisa dijadikan sekadar cerita.

Kaos anti korupsi. Kalau ingatan saya mampu bekerja baik, kaos yang dikeluarkan penerbit koran dan saya miliki pertama kali, adalah kaos dari harian Kompas. Pemberian Efix Mulyadi, wartawan Kompas yang kini Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta. Tahun 1979. Saat itu saya masih “nyeniman” di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta.

Kaos putih, dengan ilustrasi kartun GM Soedarta, bergambar wanita seksi sedang menghitung-hitung lembaran uang. Teksnya berbahasa Inggris : Beauty Is Not For This !. Dalam pemahaman saya saat itu, kaos ini memromosikan pesan kampanye anti korupsi.

Kaos ini pernah saya pakai untuk apel, sambil degdegan, menemui Miduk (“bayangkan dirinya punya senyum indah seperti milik Emma Bunton dari Spice Girls”) di Purwotomo, Solo. Ia sempat mengomentari teks kaos saya itu. Sayang saat itu ia sudah punya acara date, keluar rumah bersama teman sekantornya.

Saya pun kemudian menemani adik terkecilnya, Krisandari. Menemani untuk belajar tentang biologi (“apa manfaat tulang sampai manfaat kulit”), pelajaran murid klas VI SD Mangkubumen 15, Solo.

Promosi Fokus. Kaos dari media yang kedua adalah dari majalah Fokus. Tahun 1980-an. Warna abu-abu, berkrah, bertuliskan “Majalah Berita Mingguan FOKUS” warna hitam di punggung.

Kaos itu pemberian dari rekan kuliah di UI, Subagyo Ramelan, yang saat itu nyambi menjadi pustakawan di majalah Fokus tersebut. Salah satu redaktur Fokus adalah penyair Sutardji Calzoum Bachri yang pernah saya temui di American Cultural Center, Wisma Metropolitan II saat itu.

Kaos Fokus ini saya (dalam foto : bertopi) pakai tanggal 11 November 1982. Ketika itu bersama rekan kuliah, bertiga, tur ke Cilacap. Saya bersama Bakhuri Jamaluddin (berkaos hitam) dan Hartadi Wibowo (berkaos motif garis). Bakhuri, kelahiran Salatiga tetapi suka mengaku sebagai wong Solo, pensiunan auditor ahli madya dari Departemen Kesehatan RI. Ketua Dewan Redaksi Bulletin Inforwas Itjen Depkes ini juga menulis buku Bunga Rampai Pengawasan Kesehatan (Media Medika, 2007). Kini keduanya lebih afdol bila disapa dengan tambahan panggilan Pak Haji.

Kami bertiga puter-puter Cilacap. Antara lain mengunjungi komplek Benteng Pendem, peninggalan tentara Jepang, melihat Segara Anakan, dan memutari bibir pantai di mana di seberangnya nampak pulau yang terkenal di kalangan kaum kriminal dan koruptor kelas kakap : Nusakambangan.

Hari suporter nasional. Kaos koran ketiga saya, hadiah dari harian Bisnis Indonesia. Sebagai suporter Pasoepati, pendukung tim Pelita Solo, saya dan Mayor Haristanto (Presiden Pasoepati) bertandang ke Jakarta, 9-13 Juli 2000. Selain ke Senayan untuk menonton babak 8 Besar Liga Indonesia 2000, kami punya agenda lain.

Tanggal 12 Juli 2000 atas prakarsa redaktur sepakbola nasional Tabloid BOLA, Sigit Nugroho, para suporter pendukung tim yang sedang berlaga itu bertemu di kantor redaksi BOLA. Selain Pasoepati dari Solo dan Jakarta, hadir juga rekan-rekan dari Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta) dan Viking Jabodetabek. Dalam pertemuan itu saya mengusulkan, agar tanggal 12 Juli didaulat sebagai Hari Suporter Nasional. Secara aklamasi, semua yang hadir menyetujui. Gagasan saya ini kemudian tercatat pula di MURI.

Photobucket

Di antara hari-hari kami di Jakarta, saya dan Mayor sempat main pula ke kantor redaksi Harian Bisnis Indonesia, di Slipi. Kami datangnya pagi hari, saat para wartawan dan utamanya redaktur olahraganya, belum hadir. Ditemui oleh kepala bagian promosi yang kami kenal, karena ia pernah bertugas di koran Solopos, kami pun bertukar cenderamata, kaos Pasoepati ditukar dengan kaos Bisnis Indonesia (foto).

Kaos BOLA. Kaos (dari) koran saya berikutnya, 2002, memajang headmast koran dari Solo : Solopos. Ini akan menjadi cerita tersendiri. Selanjutnya, kaos dari media yang banyak saya miliki berasal dari tabloid BOLA.

Penyebabnya adalah, adik saya Broto Happy W., bekerja sebagai wartawan BOLA. Terlebih lagi, tabloid olahraga satu ini juga memiliki cabang usaha penjualan merchandising khusus BOLA.

Pada awalnya bisnis ini laris-manis. Termasuk sampai membuka gerai perwakilannya di Bandung, Yogya, juga di bekas markas Pasoepati, di Nayu, Solo. Sayang, bisnis ini kemudian ditutup. Kaos BOLA saya yang terakhir (foto paling atas) berupa kaos edisi peringatan saat tabloid itu memeringati HUT-nya yang ke-20, tahun 2004 yang lalu.

Hemat saya, ceruk bisnis untuk kaos-kaos bertema olahraga di Indonesia masih terbuka. Bahkan tiap cabang olahraga, menantang untuk diterjuni. Tetapi tentu saja dengan sentuhan kreativitas yang lain, serta tidak mengulangi lagi pendekatan seperti Tabloid BOLA tersebut. Jauh hari, saat usaha itu belum dilikuidasi, saya pernah kirim email ke BOLA tentang gagasan-gagasan baru untuk tema kaos mereka. Entah kenapa, tetapi tidak ada respon saat itu.

Kaos untuk loper ? Selain kaos dari Kompas 1979 di atas, saya berpendapat bahwa kaos-kaos yang diproduksi pelbagai penerbit media itu masih nampak tidak digagas secara serius dan kreatif. Jadi nasibnya, kaos-kaos itu sepertinya hanya cocok untuk dikenakan para loper koran belaka. Atau untuk para petugas kebersihan gedung kantor media. Mereka mendapatkannya secara gratisan.

Memanglah : apa sih menariknya bila pada kaos-kaos itu hanya terpajang nama koran bersangkutan ?

Ketika berkesempatan berkunjung ke ruang-ruang redaksi media massa, sepanjang yang saya pernah lihat dan amati, saya merasa jarang sekali dan bahkan boleh dikata tidak pernah melihat wartawan mengenakan kaos yang memajang nama media tempat mereka bekerja. Kalau orang dalam sendiri tidak suka, tidak tertarik dan tidak berbangga mengenakannya, apalagi untuk orang diluarnya ?

Kacamata konsumen. Mungkinkah, antara lain karena hal vital semacam di atas yang membuat bisnis merchandising termasuk kaos-kaos dari Tabloid BOLA itu misalnya, menjadi tidak prospektif, tidak lagi menguntungkan, dan akhirnya diputuskan untuk dimatikan ?

Pakar pemasaran Al Ries dan Jack Tout dalam bukunya Positioning : The Battle for Your Mind (1986) punya cerita yang kiranya menarik untuk disimak. Sekadar info : buku ini saya beli di Jakarta, 8 Juni 1987. Ada catatan sejarah pembelian buku itu sebagai : “Bonus bisnis sweater Tour Jawa-Bali 1987 SMA Tarakanita 2 Jakarta, 18 Juni – 29 Juni 1987.”

Saat itu saya mengelola klub penggemar kaos, Ideas T-Shirt Club (ITSC), dan salah satu anggotanya (“anggota tersayang”) merekomendasikan sekolahnya untuk membuatkan kaos tur itu pada ITSC.

Kembali ke Ries dan Trout. Keduanya berbicara mengenai perbedaan antara pola pikir inside-out thinking versus pola pikir outside-in thinking. Pola pikir pertama seringkali tidak disadari meracuni para pebisnis. Mereka, para produsen itu, tampil sebagai diktator selera.

Intinya, hanya dengan memajang nama media atau nama koran mereka di kaos, mereka berpikir orang lain akan menyukai dan bersedia mengenakannya. Hemat saya, itulah yang selama ini umum terjadi pada penerbitan kaos-kaos pada penerbit media kita. Termasuk pada kaos hadiah dari koran Bisnis Indonesia di atas.

Sementara itu kebalikannya, mereka yang menganut pola pikir yang kedua, bisa kita lihat buktinya pada kaos yang diterbitkan oleh koran The Washington Post. Mengambil momentum yang tepat, sesuatu yang berharga dan dikenal akrab oleh kalangan media, mereka kemudian memindahkan isi liputan korannya ke media kaos, dan menjualnya sebagai memorabilia.

Mereka memproduksi kaos itu dengan memperhatikan isu besar, denyut, kata hati sekaligus pandangan pembaca terhadap peristiwa besar tertentu yang menjadi liputannya.

Terlebih lagi peristiwanya memang sangat fenomental dan bersejarah. Menyangkut prestasi seorang Barack Obama sebagai warga negara berkulit hitam pertama yang menjadi presiden di negara adi daya, Amerika Serikat.

Jadilah kaos tersebut mampu menjadi benda bersejarah, yang bernilai tinggi. Baik sebagai kenangan dan juga terkait dengan nilai finansialnya kelak, berpuluh tahun kemudian, sebagai ikon sejarah. Seorang blogger kaos “Rude Retro” mengomentari kaos itu : Be a part of history with this limited edition Washington Post newspaper today.

Kaos yang dibuat dengan kreativitas dan wawasan mendalam memang mampu pula menjadi ikon sejarah. Saya pun hanya bisa bergumam : suasana pemilu umum presiden Indonesia 2009 kini sedang menuju titik didihnya dan tidakkah momen seperti ini mampu mengilhami media massa, atau produsen kaos topikal, untuk mengabadikannya ?


Wonogiri, 29/5/2009

kk

Kamis, 14 Mei 2009

Kaos Sejarah dan Insiden Trisakti 1998

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Indonesia membara. Tanggal 12-14 Mei 1998, Anda berada di mana, saat Indonesia membara ? Saya sendiri ada di Wonogiri. Setiap malam senantiasa mengikuti siaran BBC, Radio Hilversum dan Voice of America. Setelah selama 18 tahun tinggal di Jakarta, bulan Januari 1998, saya memutuskan untuk pulang kampung. Ternyata, saya harus juga ikut menjadi saksi saat Solo ikut membara, menjadi korban rembetan api kerusuhan di Jakarta.

Ketika Soeharto lengser, Radio Hilversum sempat mengutip tajuk rencana sebuah koran manca negara yang mengomentari peristiwa alih kekuasaan kepada Habibie. “Peralihan dari setan kepada roh jahat,” begitu bunyinya. Kartun majalah AsiaWeek (5/6/1998) melukiskan Indonesia sebagai mobil terbalik dan terbakar. Soeharto, sang supir nampak didalamnya. Teksnya berbunyi : Famous last words : “Vrooom, vrooooomm…”

Saat itu pula, Indonesianis asal AS, Ben Anderson di corong VoA, ikut mengomentari attitude seseorang tokoh militer yang diduga sebagai dalang kerusuhan Mei 1998 dengan melakukan penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Tokoh itu ia sebut sebagai “anti kaum intelektual.” Sosok bersangkutan masih mondar-mandir dalam konstelasi politik kelas tinggi Indonesia, saat ini.

Klub tshirt. Saya bukan alumnus Universitas Trisakti. Tetapi gara-gara mengelola klub pencinta kaos, Ideas T-Shirt Club (ITSC) di Jakarta, saya memiliki pacar mahasiswa Desain Produksi FTSP Trisakti. Adanya kaitan emosional semacam itulah, ketika ikut mencatat peristiwa lengsernya Soeharto sebagai bagian sejarah hidup pribadi, memicu saya untuk menulis surat pembaca.

Sebagai kaum epistoholik, saya telah menulis surat pembaca yang mengusulkan agar peristiwa Trisakti 1998 itu juga diabadikan dalam bentuk kaos. Untuk apa ?


Monumen Pahlawan Reformasi
Harian Bernas, Jumat Wage, 29 Mei 1998


Selamat jalan, pahlawan reformasi. Peristiwa terenggutnya nyawa rekan-rekan muda kita Hery Hartanto, Elang Mulyana, Hafidin Royan dan Hendriawan Lesmana pada senja hari Selasa 12 Mei 1998 yang pedih di kampus Universitas Trisakti, akan selalu dikenang dalam sanubari rakyat dan bangsa Indonesia.

Peristiwa brutal itu tak boleh terjadi lagi di masa depan. Untuk selalu berusaha menghidupkan-hidupkan semangat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, saya usulkan agar pihak terkait seperti organisasi Ikasakti (Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti) atau Universitas Trisakti sendiri, membangun sebuah monumen kenangan.

Monumen itu berbentuk situs web (kios informasi) di Internet, yaitu media komunikasi berskala global, egaliter dan demokratis, sejajar dengan ide besar yang diperjuangkan rakyat, mahasiswa Indonesia, dan para almarhum pahlawan reformasi.

Teknologi dan karakter situs web tersebut membuka dan memungkinkan secara komprehensif dikisahkan kejadian yang memilukan tersebut, cerita para saksi mata, kenangan para rekan sebangku kuliah dan dosen, sambutan para tokoh gerakan reformasi, bahkan para peziarah dari seluruh dunia pun dapat menorehkan kesan dan pesan di “webmemorial” ini.

Saya tahu, sumbang saran berikut sedikit kontroversi. Yaitu dimungkinkannya pada situs Web pahlawan reformasi tersebut dijual benda-benda kenangan (memorabilia) seperti t-shirt, pin/bros, alat-alat tulis, mug, foto, dan kreasi benda kenangan lainnya.

Keberatan yang muncul mungkin upaya pengumpulan dana ini dituduh sebagai upaya “sadis” karena mengkomersialkan kesedihan para keluarga yang ditinggalkan dan memperdagangkan peristiwa gugurnya mereka yang sama-sama tidak kita kehendaki.

Usulan itu didasari niat baik. Hasil pengumpulan dana dari hasil penjualan memorabilia itu, yang dikelola secara transparan dan profesional, dapat dimanfaatkan untuk hal-hal mulia untuk mengharumkan nama pahlawan reformasi kita. Mungkin untuk memberi beasiswa kepada pelajar berprestasi yang ingin kuliah di Trisakti, terutama untuk para pelajar anak-anak anggota ABRI, dan banyak sekali gagasan kreatif lain yang dapat disumbangkan oleh khalayak.

Kisah-kisah mengharukan dari balik layar, cucuran empati yang gigih bekerjasama dan tanpa pamrih dalam menopang logistik untuk para mahasiswa Indonesia pada saat-saat bersejarah, berdemo di Gedung MPR/DPR Senayan, membuktikan bahwa bangsa kita memiliki energi luhur yang luar biasa. (Foto dari majalah AsiaWeek, 5/6/2009, menunjukkan kegembiraan meluap saat mengetahui Soeharto lengser).

Keteladanan merekalah yang memicu usulan dan gagasan kecil ini demi terbangunnya webmemorial untuk para pahlawan reformasi agar kita bisa kenang dan teladani sepanjang masa.


Bambang Haryanto
Pekerja Internet di PlanetSolo
PO Box 2057/SloTP
Solo 57154


Wonogiri, 15/5/2009

Minggu, 10 Mei 2009

Kaos Sevilla, Kisah Cinta, Kisah Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com


Mata biru Spanyol. Ancaman pandemi flu babi kini sedang menghantui dunia. Beritanya sendiri, berita mengenai ancamannya oleh sebagian pengamat dinilai lebih menebarkan ketakutan dibanding penyakitnya. Tak ayal histeria semacam ini jadi bahan olok-olokan para komedian. Misalnya Jay Leno.

Ia bilang : “Selamat menikmati liburan musim panas. Saya tidak tahu akan pergi kemana. Yang pasti saya terjepit untuk memilih liburan antara naik kapal pesiar dekat pantai Somalia atau mengunjungi peternakan babi di Meksiko.”

Meksiko, yang menjadi awal penyebaran virus flu yang berlabel H1N1 ini, memang sedang menjadi bangsa paria. Setiap bandara di dunia akan mewaspadai dan memeriksa setiap penumpang yang baru datang dari negeri sombrero itu. Apakah Mexico kini sedang dikutuk oleh Tuhan ? Porfirio Diaz (1830–1915), pejuang revolusioner yang pernah menjadi presiden Mexico tahun 1877-1880 dan 1884-1911, pernah berujar : “Meksiko yang malang, begitu jauh dari Tuhan dan begitu dekat dengan Amerika Serikat.”

Kedekatan Meksiko dan AS, boleh jadi, dapat disimbolkan dalam lagu cinta yang terkenal : Spanish Eyes. “Mata biru Spanyol adalah mata paling indah dari seluruh Meksiko. Mata Spanyol Sejati sunggingkan senyum padaku sebelum aku pergi. Segera aku kan kembali, memberimu seluruh cinta yang mampu memenuhi hatimu.Kumohon katakan ya, ya. Katakan kau dan mata Spanyolmu akan menunggu kedatanganku.”

Please say si- si,
Say you and your Spanish eyes will wait for me

Photobucket

Miraflores Gypsy. Kata si berasal dari bahasa Spanyol. Artinya : ya. Kalau kata no do , yang terpampang di kaos ini, apa artinya ? Orang Meksiko pasti bisa menjawabnya.

Negeri asal pesepakbola Cuauhtemoc Blanco yang terkenal dengan aksi bunny hopping-nya ini pernah dijajah Spanyol sejak tahun 1521 dengan penaklukan oleh Hernando Cortez. Apakah kapal dari adegan terakhir film Apocalypto-nya Mel Gibson itu juga menggambarkan kedatangan conquistador Cortez ini ? Mexico merdeka tahun 1821.

Tak usah harus Ke Mexico, dengan resiko tertular flu babi, untuk tahu arti kata yang terpampang di kaos saya ini. Apalagi kaos ini juga tidak dibeli di Meksiko. Kaos ini dibeli di Sevilla, ibukota kawasan Andalusia di Spanyol bagian selatan. Kawasan yang kental dengan budaya Islam yang mendominasi sejak kehadiran bangsa Moor pada abad ke-8. Juga terkenal dengan sajian tari flamenco yang berakar dari budaya kaum gipsi di Andalusia.

Cerita tentang tarian flamenco yang bergairah itu mampu melemparkan saya untuk mengenang salah satu film yang terindah : The Miracle (1959). Dibintangi oleh Caroll Baker, Roger Moore dan Vittorio Gazman. Saya menontonnya tahun 70-an di Solo, di gedung bioskop UP, yang setiap pembukaannya selalu memutar lagu instrumentalia dari Glenn Miller.

Gedung bioskop ini penuh kenangan. Saya pernah menulis surat pembaca, isi protes. Pasalnya, saat film mendekati akhir dan tentu saja klimaks, petugas sudah menggeser tirai pintu keluar. Suaranya lumayan keras. Bagi saya ini teror, sangat mengganggu kenikmatan, karena mengisyaratkan film akan segera usai.

Saya juga protes karena credit title tidak ditayangkan penuh. Sebagai orang yang suka mengamati, menulis dan bercerita, data kasting sampai judul-judul lagu dalam film tersebut, menjadi perhatian saya. Syukurlah, surat pembaca saya itu diperhatikan oleh manajemen bioskop Ura Patria (UP) saat itu. Kini gedung UP tersebut tinggal kenangan. Sudah digantikan oleh ruko alat-alat elektronik.

Film The Miracle berkisah mengenai kisah cinta antara biarawati Spanyol dengan opsir Inggris muda dengan latar belakang Perang Napoleon. Ketika biarawati itu, Teresa, sedang diamuk asmara dan memutuskan keluar dari biara untuk menyusul sang kekasih, terjadilah hal yang luar biasa. Patung Bunda Maria yang berada di kompleks itu menjadi hidup, menjadi manusia, menggantikan Teresa yang pergi.

Mengiringi patung suci yang menghilang itu telah turun hujan deras. Tetapi merupakan hujan yang terakhir, karena daerah itu beruntun dirundung bencana demi bencana, antara lain kekeringan yang dahsyat. Hidup Teresa pun, setelah kabur dari biara, penuh dengan gelombang, drama dan romantika.

Ketika mendengar kabar bahwa kekasihnya sudah tewas, ia lalu berganti-ganti jatuh dalam pelukan pria lain. Ia bergabung dalam kelompok kesenian gipsi, keliling Eropa. Ia terkenal dengan sebutan gipsi Miraflores. Kekasih gipsinya tewas, ditembak saudaranya sendiri yang cemburu. Teresa kemudian jatuh cinta dengan seorang matador. Mungkin takdir, siapa saja yang mencintai dirinya akan menderita bencana yang sama : tewas. Matador kekasihnya kali ini, tewas diseruduk banteng di arena.

Opsir Inggris, cinta pertamanya itu, ternyata masih hidup. Mereka bisa bertemu, ketika kekasihnya menjelang berangkat ke medan perang. Inggris lawan Perancis. Perang Waterloo. Tetapi Teresa yang tahu bahwa kematian pasti akan menghampiri sang kekasih, ia memutuskan diam-diam untuk meninggalkannya. Ia meninggalkan surat. Kekasihnya tertembak di peperangan, tetapi selamat. Saat itu Teresa bersiteguh memilih kembali untuk mengabdi Tuhan. Teresa pun menempuh perjalanan kembali ke biaranya semula.

Saat ia tiba, hujan deras turun. Patung Bunda Maria yang selama ini hilang, hadir kembali. Warga desa itu bahagia ketika kembali hujan turun, kejadian yang bertahun-tahun tidak mereka alami. Keajaiban memang telah terjadi.


Pemberontak Basque. Kisah mengenai biarawati, bahkan empat orang, yang juga penuh gejolak dihadirkan oleh Sidney Sheldon (1917-2007) dalam novelnya The Sands of Time (1988). Diterjemahkan dengan judul Butir-butir Waktu, pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas. Diterjemahkan, kalau ingatan saya masih baik, oleh Gyani Buditjahya, yang dalam suatu acara pameran buku di Jakarta saya pernah bertemu dan memujinya.

Potongan cerita dari novel indah dan mencengkam ini, dengan latar belakang pemberontakan kaum Basque di Spanyol Utara, menjadi inspirasi saya ketika mendeklarasikan tanggal 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional. Bahkan juga saya ungkap kembali ketika mengikuti kontes impian yang diadakan oleh fabrikan mobil Honda di Indonesia, dalam ajang The Power of Dreams Contest 2002.

Saya mengajukan impian mengubah budaya suporter sepakbola kita yang destruktif menjadi pelaku hiburan kolosal yang atraktif dan sportif dalam totalitas pemanggungan teater sepakbola Indonesia.

Intinya adalah, dengan mengambil tamsil adu banteng di Spanyol, selama ini dua kesebelasan yang bertanding ibarat banteng melawan matador. Kita para penonton hanya berstatus sebagai penonton. Titik. Tetapi di Spanyol juga, di Pamplona, ada ritus pertunjukan adu banteng yang lain, yang tidak kalah atraktif dan brutalnya.

Yaitu adegan ketika banteng-banteng ganas dilepaskan untuk mengamuk, menyusuri lorong-lorong kota Pamplona.Dalam novel The Sands of Time peristiwa itu menjadi latar belakang pembebasan pentolan pemberontak Basque (Juan Miro) dari penjara. Gemuruh dan gairah para penonton yang berlarian untuk menggoda sekaligus menghindari serudukan banteng, menghadirkan peran ganda : mereka sebagai penonton dan sekaligus juga sebagai pelaku pertunjukan.


Tesis saya, adu banteng a la Pamplona itulah seharusnya yang dianut oleh suporter sepakbola Indonesia. Bahkan juga suporter sepakbola seluruh dunia. Biarlah kedua tim yang bertanding berjalan sesuai aturan, secara profesional, sementara para suporter menghadirkan dirinya sebagai pelaku utama dari totalitas teater sepakbola dengan aksi-aksi yang dirancang secara mandiri. Ketika para pemain bertanding, para suporter kedua belah fihak beradu konser, baik nyanyi dan koreografi, sehingga mampu membakar atmosfir stadion dalam gairah dan sportivitas.

Impian dan cita-cita saya ini (dalam foto saya memegang trofi yang ada tanda tangan pendiri Honda, Soichiro Honda dan tulisan kanji bermakna “impian”) telah didokumentasikan dalam film The Power of Dreams Documentary 2002, ditayangkan satu jam penuh di TransTV, 29 Juli 2002. Impian itu memang masih jauh menjadi kenyataan dalam atmosfir sepakbola Indonesia saat ini.

Baiklah. Film dokumentasi dalam bahasa Spanyol diterjemahkan sebagai no do. Atau dalam bahasa Inggris adalah : newsreels. Secara sepintas, ketika belum membuka-buka kamus Spanyol-Inggris, saya tidak tahu apa pesan yang tertera di kaos satu ini.

Kaos ini, yang terbeli oleh adik saya Broto Happy W. ketika meliput turnamen bulutangkis kelas dunia (Piala Sudirman ?) di Sevilla, saya lupa tahunnya. Kalau ada data baru, nanti akan saya revisi. Saya juga tidak atau belum tahu, mengapa kota Sevilla ini begitu mempromosikan no do ini kepada para wisatawan. Apakah kota ini terkenal sebagai pusat arsip film Spanyol dan Eropa ?

Sebagai pencinta kaos, saya hanya mampu bergumam : desain yang sederhana dan menarik, walau tanpa memahami artinya, konsumen ternyata tetap membelinya. Tentu saja, daya tariknya yang utama adalah nama kota yang tercantum di dalamnya : Sevilla.

Tapi ngomong-ngomong, dengan ornamen yang sama, ketika kata no do saya ganti, misalnya dengan kata dadung, yang artinya tali, atau diganti dengan kata nodong, dan kotanya saya ganti dengan Wonogiri, kira-kira adakah wisatawan yang mau membelinya ? Pertanyaan yang ngawur dan asal-asalan.


Wonogiri, 11 Mei 2009

Minggu, 03 Mei 2009

Politisi Pinokio dan Kaos Dari BBC

Photobucket

”Kalau Saya Jadi Presiden, saya memacu ilmuwan dunia membuat pil ajaib yang khasiatnya membuat hidung akan memanjang setiap kali si penenggak pil itu berbuat culas dan bohong. Ingat dongeng Pinokio, bukan ?

Saya sebagai presiden, wakil presiden, para menteri dan seluruh pejabat negara, saat disumpah harus menelan pil ajaib itu. Tinggal kemudian rakyat yang mengawasi, siapa-siapa saja yang hidungnya memanjang (kecuali disengat lebah !), maka pejabat itu pasti korup dan jabatannya harus segera diakhiri !”

Itulah ungkapan pendapat saya yang diudarakan Radio BBC Siaran Indonesia, 5 Juni 2004. Saya kemudian dihadiahi kaos (foto) yang kadang masih saya kenakan. Termasuk tiga tahun kemudian, pada tanggal 8/10/2007 malam, ketika saya tiba-tiba mendapat telepon dari BBC Siaran Indonesia.

Dari reporternya, Donny Maulana.

Rupanya, dengan bantuan mesin pencari Google, ia menemukan blog saya, Komedikus Erektus ! yang merupakan sumbang saran saya semampunya untuk ikut mendorong kemajuan komedi di Indonesia. Ia mendaulat saya untuk membicarakan fenomena klub komedi sebagai kawah chandradimuka, ajang penggemblengan komedian-komedian solo yang cerdas, demi kemajuan masa depan komedi Indonesia.

Sebagai orang kampung, yang tinggal di Wonogiri, kesempatan ngobrol seperti ini sungguh tak terbayangkan. Apalagi tentang klub komedi, sebuah topik yang tak pernah disentuh beragam media mainstream di Indonesia selama ini.

Karena antusias, saya sempat mengungkapkan keberadaan klub komedi sebagai fenomena gaya hidup urban, oasis cerdas bagi mereka yang sudah muak atau tidak puas dengan suguhan-suguhan komedi yang ada di televisi. Juga diimbuhi ilustrasi bagaimana sosok-sosok komedian solo di AS, seperti Conan O’Brien atau Andy Borowitz, adalah lulusan magna cum laude dari Universitas Harvard. Selain Effendi Gazali, siapa komedian “sekolahan” kita saat ini ?

Nara sumber lainnya adalah Ramon P Tommybens, pendiri Comedy Cafe Indonesia (1997), kafe pertama di Indonesia dengan konsep komedi. Silakan kunjungi di Pasar Festival Kuningan, Jakarta. Obrolan itu telah disiarkan pada hari Minggu, pada acara Seni dan Budaya, jam 18.00, 14 Oktober 2007.

Peristiwa itu telah berlalu. Kaos dari BBC lima tahun lalu itu, yang desainnya sederhana itu, masih tetap saya kenakan di rumah saja. Begitulah, setiap kaos memang punya cerita. Kenakan. Kenangkan. Kisahkan.

Wonogiri, 4 Mei 2009.

Sabtu, 02 Mei 2009

Radar Penangkap Isu Aktual

Komentar Bambang Haryanto
ke situs Gantibaju.com


Pro : Anggi Krisna (iCreativeLabs), Anang Pradipta (Gamexeon) dan Aria Rajasa (Rajasa.com) di Gantibaju.com

Salam sejahtera, semoga Gantibaju.com sukses selalu. Desain-desain yang Anda luncurkan menarik, dan agar bisnis Anda semakin sukses, saya ingin memberikan usul-usil.

Anda sudah baca koran JawaPos minggu lalu (saya bacanya di Perpustakaan Wonogiri), tentang wartawan Kompas dan teman-teman sesama alumnus ITB meluncurkan bisnis kaos politik secara online ? Saya salut atas kejelian ini.

Di laporan yang sama, juga disebutkan seorang ibu muda asal Bekasi, membuat online store untuk kaos juga. Topik kaosnya macam-macam, ada empat. Ada olahraga sampai technopreneur, yang mengutip kata-kata Thomas Friedman sampai Steve Jobs yang pendiri Apple (yang kini lagi sakit itu ya ?).

Dari cerita di atas, apa yang bisa saya usulkan untuk Gantibaju.com ? Sekadar cerita, sebagai pengkaji masalah komedi, saya menemukan situs bimbingan komedi dari AS. Setiap minggu ada pelajaran baru, dan di sana ada pula kajian khusus mengenai topik-topik komedi yang “in” dan dikaitkan dengan bulan dan musim.

Dalam bulan April-Mei, misalnya, di AS sedang musim kegiatan tertentu, saya kutipkan :

Gardening: buying garden tools, city penthouse gardens, flower shows, green thumb, growing vegetables, planting, seed catalogs, seeds, spading, weeds.

Outdoor Track: cross country, finish tape, hammer throw, high jump, hurdles, relays, running lanes, shot-put, starting gun.

Nah, para komedian akan mengolah topik-topik hot di atas, sehingga leluconnya relevan dengan apa yang ada di benak audiens. Kalau topiknya sama-sama mereka ketahui, maka lelucon dari komedian itu akan “dibeli” audiens dengan balas jasa, yaitu tawa-tawa dari mereka.

Menurut hemat saya, Gantibaju.com juga sebaiknya memiliki dan mengelola “radar” untuk memantau ide, topik atau isu yang relevan pada masa tertentu. Mas Wartawan Kompas tadi “radar”-nya jalan, ketika lagi hangat isu politik, ia bikin dan menjual kaos politik.

Maaf, menurut saya, topik-topik yang dipajang di toko Anda saat ini kayaknya rada “salah musim.” Karena menurut saya isu-isu patriotisme itu akan lebih mengena bila diluncurkan nanti sekitar Agustus, saat HUT Kemerdekaan RI. Atau saat Indonesia diserang atau dilecehkan oleh bangsa lain ? Mungkin Anda memiliki pandangan lain yang lebih brilyan, bila berkenan, saya nantikan.

Tapi Anda jangan kuatir atas penilaian saya di atas. Internet adalah medan kiprah bisnis yang maha luas dan berkelimpahan (Anda sudah baca The Long Tail-nya Chris Anderson ?), dimana setiap ide atau ceruk bisnis apa pun akan memperoleh pendukung. Kaos-kaos dari Gantibaju.com saat ini pasti juga memperoleh fans dan pembeli. Sukses terus untuk Gantibaju.com.

Salam saya dari Wonogiri.

[Diposting : 22 April 2009. Sampai saat diunggah di blog ini, belum ada jawaban/balasan komentar dari Gantibaju.com].

kk

SBY Jenderal Bintang Empat, Atau Tiga ?

Komentar Bambang Haryanto
di situs Descartes (www.bisniskaos.com)


Sukses untuk Descartes-nya Ibu Hakimah. Tentang Descartes itu ada kesamaan dengan komunitas kaum epistoholik saya (http://esaiei.blogspot.com) yang memakai plesetan dari ucapan beliau, “episto ergo sum,” saya menulis surat pembaca karena saya ada.

Wartawan Kompas, Wisnu Nugroho, juga memiliki slogan “contrengaja ergo sum” yang kebetulan dirinya juga berbisnis kaos politik saat ini. Kisah Anda berdua, Ibu Hakimah dan Mas Inu itu, saya baca di JawaPos yang lalu. Semoga Anda berdua sukses selalu.

Tentang kaos Pak SBY ini, seingat saya, beliau itu belum jenderal bintang empat penuh. Saat beliau letjen, bintang tiga, ia diangkat oleh Presiden Gus Dur sebagai Menteri Pertambangan. Untuk itu SBY harus pensiun.

Ia dikabarkan kecewa karena tak bisa meraih puncak karier sebagai militer, yaitu punya pangkat bintang empat. Jadi bintang empat dia, sebagai jenderal, disebut sebagai jenderal bintang empat kehormatan.

Dan tentang gelar doktornya, penulisan yang saya ketahui selama ini adalah Ph.D, bukan Ph.d. Mungkin ada pembaca lain yang lebih tahu ?

Teks dan desain Descartes ini, menurut saya sopan-sopan dan lurus-lurus. Ini kelebihan Anda. Sementara saya yang pengin bikin bisnis kaos bertopik komedi, menurut saya, desain Anda ini dosis nakal dan binalnya belum pada gigi persneling 6 :-).

Tak apalah. Internet adalah medan kiprah bisnis yang maha luas dan berkelimpahan (sudah baca The Long Tail-nya Chris Anderson ?), dimana setiap ide atau ceruk bisnis apa pun akan memperoleh pendukung. Sukses terus untuk Descartes.

Salam saya dari Wonogiri.

[Diposting 22 April 2009. Tidak ada komentar balasan. Tetapi akhir-akhir ini posting yang mempromosikan kaos bertemakan SBY ini terhapus dari situs].


kk

Model Bisnis Kaos A la Threadless

Komentar Bambang Haryanto
ke situs Gantibaju.com


Pro : Anggi Krisna (iCreativeLabs), Anang Pradipta (Gamexeon) dan Aria Rajasa (Rajasa.com) di Gantibaju.com

Salam sejahtera,

Semoga sehat-sehat dan sukses adanya. Atas rujukan teman, saya bisa nyasar ke situs Anda yang menarik ini. Sebagai pencinta kaos, saya berpendapat bahwa ide bisnis kaos online Anda yang mengkloning dari model bisnisnya Threadless itu, patut didukung.

Minimal, untuk saat ini, saya mudah-mudahan bisa memperoleh teman-teman baru yang berkiprah di bisnis kaos, dengan cara baru yang memanfaatkan Internet.

Saya memiliki blog bertopik komedi, Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com). Beberapa saat lalu saya mengundang desainer dan/atau produsen kaos, untuk menggalang kerjasama saling menguntungkan dalam berbisnis kaos komedi.

Model bisnisnya sederhana : saya ada ide/teks (katakanlah sebagai copywriter), lalu teman/mitra yang ahli dibidang desain grafis/komunikasi visual membuat desainnya, lalu prototip desain itu kita luncurkan, dipajang di blog KE atau dikirim via email. Selanjutnya teman-teman yang minat kirim uang, baru produk kita buat, kemudian kita kirimkan.

Ternyata ajakan saya itu belum memperoleh sambutan secara maksimal. Tak apalah. Saya belum putus asa. Mungkin saya harus memodifikasi ajakan tersebut.

Sekian dulu obrolan saya dari Wonogiri. Anda punya masukan ? Saya tunggu.
Sukses untuk Anda semua di gantibaju.com.
Salam,

Bambang Haryanto
+6281329306300

[Diposting : 14 April 2009. Sampai saat diunggah di blog ini, belum ada jawaban/balasan komentar dari Gantibaju.com].

Model Bisnis Bisnis Kaos di Internet

Email Bambang Haryanto
kepada Aji Wibowo


Dear Aji,

Salam sejahtera. Aku sudah lihat-lihat blog Monsterclothing [http://monsterclothing.blogspot.com]. Sebagai etalase toko, memang situsmu itu harus terus dipromosikan di dunia maya. Oh ya, menyambut obrolan via FB yang lalu mengenai ide bisnis kaos di dunia maya, yang muncul di kepalaku adalah : kita bukan semata memajang foto-foto desain kaos di Internet.

Cara wajar semacam itu, dan imperatif bagi pebisnis pemula, menurutku, masih minim dalam mendayagunakan kedigdayaan Internet yang sebenarnya. Apalagi budaya di Internet itu punya karakter yang berbeda dari dunia nyata, sehngga semata memindah toko kaos dari dunia nyata ke situs, seringkali malah justru tidak atau kurang produktif.

Apalagi di dunia Internet yang sering berlaku adalah filosofi gift economy, bukan commercial economy. Sehingga bila kita semata menonjolkan aksi “jualan” dan “jualan” (mungkin) justru banyak yang tidak menyukai. Kita mungkin bisa dibenci :-( karena ulah itu. Seolah kita memperalat kebaikan hati teman-teman kita di dunia maya itu untuk mengisi dompet kita.

Cara terbaik, belum saya temukan. Siapa tahu dengan diskusi ini bisa kita temukan formulanya secara bersama.

[Email dikirim : Selasa, 7 April 2009 dan sampai saat diunggah ke blog ini belum ada balasan ].

kk