Selasa, 29 Desember 2009

SBY 2009 : The Noble Whiner

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



kaos sby 2009,the noble whinner

Gagal Nobel. Anda masih ingat, di tahun 2006 tatkala SBY ikut dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ? Pemenangnya saat itu ternyata adalah Grameen Bank dan pendirinya Muhammad Yunus, yang berasal dari Bangladesh.

Di tahun 2009, SBY pantas memperoleh hadiah yang lain. Sesudah menang telak dalam Pilpres 2009, ia nampak harus segera mengakhiri bulan madunya karena terus diamuk dan digempur dengan rentetan masalah besar. Prof. Tjipta Lesmana menyebutkan, ibarat petinju, SBY hanya bisa berupaya untuk bertahan agar tidak roboh pada ronde pertama !

Hantaman itu, misalnya kasus kriminalisasi Ketua KPK Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah, Anggodo yang menyebut-nyebut nama dia dalam rekaman KPK, lalu kasus panas Bank Century yang semakin menghangat, sampai penerbitan buku menghebohkan, Membongkar Gurita Cikeas-nya George Junus Aditjondro.


Noble whiner. Kita dan media mencatat, sejak saat itu SBY suka mengeluh dan merengek, to whine di mana-mana. Kecuali mungkin saat ia berada di Copenhagen. SBY selalu bicara dirinya merasa sebagai korban fitnah. Bukannya ia tegar, memberikan jawaban yang rasional, perilaku yang ia pilih justru mengeluh kemana-mana.

Untuk mengabadikan momen itu, untuk menutup tahun 2009 saya berencana meluncurkan kaos : “SBY 2009 : The Noble Whiner.” Untuk mendokumentasikan fenomena betapa SBY di tahun 2009 ini (juga di tahun 2010 mendatang ?) merupakan sosok penguasa, nobleman, yang getol mengeluh dan merengek kemana-mana.

Anda dapat bebas menggunakan slogan di atas, baik dalam kaos Anda atau situs blog Anda. Untuk Anda yang berminat membuat kaos bersama-sama saya, silakan kontak :

kisahkaos (at) gmail.com
cc : humorliner (at) yahoo.com.

Terima kasih.

kk

Sabtu, 07 November 2009

Facebook, Kaos Dukung KPK dan Blunder Presiden SBY

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Déjà vu, 1998. “Untuk pribadi yang memiliki naluri luar biasa dalam mengeksploitasi kekurangan fihak lain, secara mengejutkan ternyata Suharto terbukti tidak mampu mencermati kekurangan yang terdapat dalam dirinya sendiri. Barangkali karena ia terpancang pada masa lalu.”

Itulah awal tulisan Tim Healy berjudul “Kings Don’t Fall Lightly” di majalah AsiaWeek, 5 Juni 1998.

Majalah itu memuat laporan utamanya mengenai kejatuhan rezim Suharto ketika diterjang badai reformasi dan naiknya Habibie, yang digugat dalam sampulnya berbunyi : Presiden atau Pion ?

“Momen itu pasti mengejutkannya. Setelah kembali dari sebuah konferensi di Mesir dan mendapati Indonesia dicekam aksi kerusuhan, Suharto mencoba memulihkan kembali kekuasaannya. Tetapi segera saja ia mendapati dirinya dalam posisi yang aneh : dirinya hanyalah sosok pion dalam permainan kekuasaan di antara fihak lainnya dibanding sebagai seorang ahli strategi,” lanjut Tim Healy.

Gambaran betapa seorang presiden dapat diibaratkan sebagai sosok “bebek lumpuh” di tahun 1998 itu sepertinya berulang kembali pada awal November 2009 ini. Kali ini menimpa Presiden SBY yang baru terpilih.

Ketika menanggapi tindakan polisi yang menahan Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dalam jumpa pers Jumat malam (30/10/2009), nampak SBY seperti kehilangan kontak dengan realitas. Ia hadir seperti makhluk asing di tengah lautan nurani keadilan publik bangsa ini yang terkoyak.

Saat itu SBY secara normatif mengatakan bahwa penahanan kedua petinggi KPK itu merupakan hal yang biasa. Ada ratusan dan ribuah kejadian yang sama telah terjadi, begitu simpul SBY. Di bagian lain ia malah condong mengecam aksi penyadapan yang legal dilakukan oleh KPK sembari menguatirkan betapa aksi serupa akan dilakukan oleh orang-orang yang mampu membeli peralatan yang sama sehingga terjadi “lautan aksi penyadapan,” ujar SBY seperti dilanda paranoia.


Meledak di Dunia Maya. Pendekatan normatif model SBY itu, esok harinya, menuai badai. Kemarahan rakyat atas tindakan polisi yang dinilai sewenang-wenang dengan menahan Bibit dan Chandra tidak mampu ditentramkan dengan pernyataan presiden itu.

Akhirnya kegusaran itu antara lain juga meledak beramunisikan media jaringan sosial Facebook di dunia maya.

Ujudnya berupa gerakan solidaritas, cause, perjuangan, untuk mendukung Bibit dan Chandra dalam memperoleh keadilan. Para facebookers ini mewakili sebagian suara rakyat. Siapa sesungguhnya di balik ”gerakan” ini?

”Saya rakyat biasa yang marah dengan kemungkaran di negeri ini,” kata Usman Yasin, yang membuat dan menjadi pengelola ”Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”.

Usman Yasin adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jambi yang juga mahasiswa program doktor di Institut Pertanian Bogor. Kamis siang itu dia baru saja mengikuti ujian doktoral.

”Saya menyalakan televisi untuk melepas lelah setelah ujian. Namun, saya justru melihat berita Pak Bibit dan Chandra ditahan. Hati saya tak tahan lagi dengan ulah lembaga penegak hukum. Saya pikir mereka sewenang-wenang,” katanya.

Lalu, secara spontan, Usman Yasin pun membuat akun gerakan dukungan di jejaring sosial Facebook. ”Saya bukan anggota partai, juga bukan politisi. Saya juga tidak kenal dengan Pak Bibit dan Chandra, tetapi hati saya mengatakan mereka berani dan benar,” ujarnya lagi.

Tanggal (2/11/2009), sekitar jam 10-an, saya berbulat hati untuk ikut berbaris dalam akun cause, perjuangan, di situs jejaring sosial Facebook itu. Saya merasa punya makna sebagai warga negara ketika terjun di tengah gelegak gerakan moral di dunia maya tersebut. Saat itu saya menemukan logo parodi KPK (foto) karya sahabat seaspirasi di Facebook tersebut dan kini telah menghias kaos kebanggaan saya.

Sebelumnya, dalam menyikapi kemelut KPK vs Polri itu saya telah menulis di blog saya, The Funny Business, sebuah fake news a la Andy Borowitz. Saya ceritakan bahwa asal muasal ricuh itu dipicu oleh keberadaan telepon genggam cerdas baru Breakberry buatan Cayman Island. Anda dapat juga menyimak tulisan berjudul KPK, Polisi dan Goyang Buaya dalam blog yang sama.

Selebihnya, saya bangga bisa masuk dalam barisan cause di Facebook itu, walau mungkin saya berada pada nomor sekitar 321.380. Tak apa. Malamnya, sekitar jam 21-an, dukungan itu sudah mencapai angka 423 ribuan. Saat ini (7/11/2009, Jam 11.40) dukungan itu sudah mencapai angka :1.016.038. Rekor satu juta telah terpecahkan !

Blunder SBY Berlanjut. Angka itu bagi SBY dan para menterinya mungkin hanya dianggap hanya sebagai angka yang tak punya makna apa-apa. Setelah meraih kemenangan yang fenomenal dalam Pilpres 2009, setelah merasa mampu berbuat adil dalam membagi-bagi kue kekuasaan kepada partai koalisinya, ketika merasa oposisi mungkin ia nilai tak punya gigi, SBY seperti terbuai dalam menikmati zona nyaman dalam masa bulan madunya itu.

Tetapi ia lupa. Seperti kata Tjipta Lesmana sebagaimana dikutip BBC (31/10/2009) bahwa penahanan Bibit dan Chandra itu menyangkut the biggest human virtue, yaitu rasa keadilan, keadilan dan keadilan pada diri rakyat, membuat pendekatan normatif a la SBY, seperti dilakukan saat Suharto dilanda krisis, yaitu semata mengandalkan masa lalu itu tidak manjur lagi.

Walau sebenarnya masa lalu itu hanya beberapa bulan yang lewat, tetapi di mata rakyat langkah semacam itu akan dinilai sebagai suatu pencederaan. Sehingga dikuatirkan hanya mendorong dirinya menuju tepian jurang. Jurang krisis kepercayaan !

“Tidak ada satu pun kekuasaan yang mampu bertahan melawan gerakan dan suara masyarakat. Mereka akan terlindas,” tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, setelah memperdengarkan rekaman hasil penyadapan KPK di lembaganya itu. SBY kini tinggal menyandarkan efektivitas pemerintahannya kepada hasil kerja Tim 8 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution. Mereka merupakan bemper presiden kita.

Tetapi toh blunder SBY itu berlanjut. Untuk itu saya telah mengirimkan surat pembaca ke harian Suara Merdeka, 6 November 2009, sebagai berikut :

SBY, PO Box vs Facebook

Fisiknya lumpuh, tetapi isi surat pembacanya senantiasa jernih dan tajam. Mantan agen koran yang sudah berhaji itu bahkan ingin menyumbangkan gagasan tentang bagaimana republik ini dijalankan secara langsung ke SBY. Untuk itu ia juga ingin suratnya memperoleh balasan secara langsung pula dari presiden. Tetapi si penulis surat itu harus kecewa. Jawaban normatif yang ia terima berupa surat dari kantor kepresidenan, tidak membuatnya puas. Surat dari kantor presiden itu kemudian ia kembalikan, ia kirim balik ke Jakarta.

Penulis surat itu adalah Bapak H. Erlangga Chandra dari Banyudono, Boyolali. Keluh-kesah beliau itu disiarkan oleh jaringan Radio 68 H (6/11/2006) se-Indonesia. Nara sumber lainnya adalah Dr. F. Pudiyanto Suradibroto (Jakarta), FX Triyas Hadi Prihantoro (Solo), Soeroyo (Solo) dan saya sendiri dari Wonogiri. Siaran khusus itu, diputar ulang 11/11/2006, memang membedah mengenai krida para penulis surat pembaca yang tergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia (EI).

Spirit seorang warga negara yang bergairah ingin menyumbangkan gagasan tetapi harus menelan kecewa, seperti dicontohkan Bapak Erlangga Chandra itu, sepertinya harus terulang kembali tepat tiga tahun di bulan November ini pula.

Di tengah tekanan masyarakat terkait kasus kriminalisasi dua pimpinan non-aktif KPK yang patut diduga dilakukan komplotan terdiri cukong dan oknum-oknum penegak hukum yang busuk, Presiden SBY meluncurkan program kerja 100 hari pemerintahannya. Program pertama yang ia sebut adalah upaya memberantas, mengganyang mafia hukum. Untuk itu SBY menyediakan fasilitas Kotakpos 9949 Jakarta 10000, guna menampung surat-surat keluhan dan aduan dari masyarakat.

SBY adalah seorang doktor, dan disekelilingnya juga banyak para cerdik pandai. Tetapi di era Internet ini, di kala keputusannya harus senantiasa tepat dan cepat, manajemen komunikasinya nampak dieksekusi sebagai orang yang berasal dari jaman baheula.

Ketika gelora gerakan anti kriminalisasi KPK yang digalang warga negara Indonesia bermediakan jaringan sosial seperti Facebook dimana tiap hari bertambah ratusan ribu pendukungnya, SBY hanya mampu merespons gelombang tuntutan dahsyat itu dengan membuka kotak pos. Tak ubahnya mengulang trik untuk meredam frustrasi rakyat a la era Orde Baru.

Ia hanya nampak bersedia menerima surat-surat kertas yang di era digital ini disebut dengan ejekan sebagai snail mail, surat keong, karena lambannya. Sebagai ilustrasi, bila surat semacam itu saya kirim dari Wonogiri, mungkin baru akan sampai di Jakarta 2-3 hari kemudian. Memakan waktu 172800-259200 detik. Kalau dikirimkan lewat email, hanya butuh waktu sekitar 15-30 detik. Bayangkan perbedaanya !

Belajarlah sedikit dari Obama, yang tak pernah lepas dari telepon genggamnya, sehingga ia mengetahui denyut nadi dan suara rakyat yang diperintahnya. Setiap saat. Saran usil saya : bukalah akun Facebook, Pak SBY. Lalu pertama-tama, bergabunglah bersama kami dalam barisan yang membela keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Maaf, dalam situasi genting di mana rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap penegak hukum sedemikian anjlok saat ini, rakyat Indonesia menunggu : kini Anda harus tampil tegas, sebenarnya Anda sekarang berada di fihak yang mana ?


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Wonogiri, 7/11/2009

kk

Kamis, 18 Juni 2009

Diana, Kaos Kamboja dan Ranjau Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Minggu muram. “Hari itu adalah momen abadi dalam hidupmu,” tulis Martin Amis, novelis Inggris, dalam kolomnya di majalah Time, 15/9/1997 (foto). Dengusnya itu muncul setelah melihat tayangan televisi CNN yang mengabarkan bahwa Putri Diana meninggal dunia.

Ia katakan kepada dua putranya, “kau akan selalu teringat dimana kamu berada dan siapa dirimu ketika kau mendengar berita ini.”

Terima kasih, Martin. Tanggal itu adalah 31 Agustus 1997. Hari Minggu. Melalui acara Seputar Indonesia RCTI, jam 18.45, saya memperoleh berita tentang meninggalnya Diana di Paris. Saat itu saya tinggal di Pustaka Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur. Hari minggu itu, kebetulan bagi saya, memang hari yang muram.

Beautiful girl. Saat pagi hari, ketika melakukan olahraga jalan kaki pagi di Lapangan Pulomas, saya bisa memergoki lagi si grasshopper, si belalang. Saat itu aku memakai kaos “DKI Jaya : Cycling.” Pertemuan terakhir, 25 Mei 1997 di tempat yang sama. Ah, grasshopper. Ini kode, nama rekaan, untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan.

Ia selalu datang sendirian di Lapangan Pulomas. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam. Tentu saja bukan pada kelompok senam pernafasan, yang didominasi kaum sepuh, para manula.

Ia ideal untuk sosok pemain bola voli. Atau model. Tingginya sekitar 168-170 cm. Menjulang dan menonjol. Selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, ada feeling, walau tanpa tahu nama masing-masing.

Seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya sebagai beautiful girl, seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Tentang gadis menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti “gita di waktu malam.” Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997.

Koneksi kepleset. Mungkin ia kecewa. Gestur agresif yang ia munculkan pagi itu, yang menandakan keinginannya untuk bisa saling mengenal di saat itu, tidak saya tanggapi secara memadai. Habis,saat itu saya merasa rada syok, gembira, juga telat mikir. Akibat self conscious yang tidak tepat dosisnya. Asmara memang sering membuat jadi dungu. Di mata dia, salah tingkah saya saat itu bisa saja memunculkan asumsi yang ia nilai sebagai hal yang sebaliknya. Itulah rupanya yang terjadi.

Akibatnya fatal. Minggu-minggu berikutnya ia tak muncul lagi. Sampai Minggu 31 Agustus 1997. Kita bisa berpapasan lagi. Ia tetap bertopi, berkaos putih, memakai legging merah, tetapi tak ada api yang menyala ketika kita bisa clash pandangan lagi.

Saya tulis di buku harian saya : “Oh Tuhan, mengapa pesona dan kecantikan yang membiusku sejak Mei 1997 itu tak bergema lagi ? Ada sebagian pada diriku yang mati, ada api yang menjadi padam dan ada segurat kepedihan merujiti hatiku. Mengapa ?”

Sampai awal Januari 1998, di Lapangan Pulomas, si belalang itu tidak pernah saya temui lagi. Di hari minggu-minggu berikutnya ketika saya mempersiapkan diri untuk bersikap lebih baik lagi, momennya yang tidak datang. Sesudah Januari itu, ketika badai krismon mengamuk, ketika koran-koran tidak lagi menerima tulisan dari luar, saya meninggalkan Jakarta. Sampai kini.

Kabar sedih belum berhenti hari itu. Ketika membaca Kompas Minggu, termuat berita mengenai wafatnya Prof. Dr. Gorys Keraf dalam usia 60 tahun. Bagi pemerhati bahasa Indonesia, pasti tahu siapa dia. Bagi saya pribadi, beliau adalah ketua tim penguji saat saya mengikuti ujian skripsi JIP-FSUI di Kampus UI Rawamangun, 27 November 1984. Beliau pula yang mengumumkan kelulusan dan nilai skripsi saya. “Semoga Anda senantiasa tentram di sisi Tuhan kini, Pak Gorys Keraf.”

Momen meleset, koneksi terpeleset itu, tentu tidak sendirian saya alami. Sehingga seorang wiraswastawan Internet terkenal, Craig Newmark, telah melabeli momen seperti ini sebagai missed connections dan kini menjadi salah satu layanan dalam situsnya yang terkenal. Tetapi saya tetap sangsi, apakah karya jenius dari Craig Newmark itu mampu menolong diri saya, sampai saat ini. Mungkin seperti menunggu bintang jatuh.

[Maaf, cerita Kaos Kamboja ini masih akan berlanjut]

kk

Jumat, 29 Mei 2009

Koran, Kaos Kenangan dan Saksi Sejarah

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Koran di lampu merah. Kalau Anda wartawan, waspadalah. Ancaman bagi profesi Anda bukan hanya datang dari penguasa dan kroni-kroninya yang korup, seperti terjadi di Bali, tetapi juga dari teknologi.

Dalam acara konferensi tahunan News Communication Forum 2009, seorang pembicaranya, Paul Gillin, mengajukan makalah berjudul “World Without Media: What Will Fill The Void?” yang mampu membuat miris mereka yang berkiprah di industri media.

“Kita menjadi saksi keruntuhan secara cepat lembaga-lembaga media yang berumur lebih dari satu abad. Industri koran dewasa ini mengalami proses ritual keruntuhan. Pasar penyiaran,broadcast, tercabik-cabik dalam pelbagai keping minat.

Generasi konsumen masa datang akan mengandalkan pada teman-temannya yang tergabung dalam media sosial Facebook untuk menerima informasi yang semula disampaikan oleh koran The New York Times,” demikian tulis Paul Gillin.

Bila ramalan itu terjadi segera dan koran-koran pun bertumbangan, apakah Anda telah memiliki sesuatu memorabilia untuk mengenang eksistensi mereka ? Dalam bentuk kaos, saya pernah memiliki beberapa yang kiranya dapat diaduk sana-sini untuk bisa dijadikan sekadar cerita.

Kaos anti korupsi. Kalau ingatan saya mampu bekerja baik, kaos yang dikeluarkan penerbit koran dan saya miliki pertama kali, adalah kaos dari harian Kompas. Pemberian Efix Mulyadi, wartawan Kompas yang kini Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta. Tahun 1979. Saat itu saya masih “nyeniman” di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta.

Kaos putih, dengan ilustrasi kartun GM Soedarta, bergambar wanita seksi sedang menghitung-hitung lembaran uang. Teksnya berbahasa Inggris : Beauty Is Not For This !. Dalam pemahaman saya saat itu, kaos ini memromosikan pesan kampanye anti korupsi.

Kaos ini pernah saya pakai untuk apel, sambil degdegan, menemui Miduk (“bayangkan dirinya punya senyum indah seperti milik Emma Bunton dari Spice Girls”) di Purwotomo, Solo. Ia sempat mengomentari teks kaos saya itu. Sayang saat itu ia sudah punya acara date, keluar rumah bersama teman sekantornya.

Saya pun kemudian menemani adik terkecilnya, Krisandari. Menemani untuk belajar tentang biologi (“apa manfaat tulang sampai manfaat kulit”), pelajaran murid klas VI SD Mangkubumen 15, Solo.

Promosi Fokus. Kaos dari media yang kedua adalah dari majalah Fokus. Tahun 1980-an. Warna abu-abu, berkrah, bertuliskan “Majalah Berita Mingguan FOKUS” warna hitam di punggung.

Kaos itu pemberian dari rekan kuliah di UI, Subagyo Ramelan, yang saat itu nyambi menjadi pustakawan di majalah Fokus tersebut. Salah satu redaktur Fokus adalah penyair Sutardji Calzoum Bachri yang pernah saya temui di American Cultural Center, Wisma Metropolitan II saat itu.

Kaos Fokus ini saya (dalam foto : bertopi) pakai tanggal 11 November 1982. Ketika itu bersama rekan kuliah, bertiga, tur ke Cilacap. Saya bersama Bakhuri Jamaluddin (berkaos hitam) dan Hartadi Wibowo (berkaos motif garis). Bakhuri, kelahiran Salatiga tetapi suka mengaku sebagai wong Solo, pensiunan auditor ahli madya dari Departemen Kesehatan RI. Ketua Dewan Redaksi Bulletin Inforwas Itjen Depkes ini juga menulis buku Bunga Rampai Pengawasan Kesehatan (Media Medika, 2007). Kini keduanya lebih afdol bila disapa dengan tambahan panggilan Pak Haji.

Kami bertiga puter-puter Cilacap. Antara lain mengunjungi komplek Benteng Pendem, peninggalan tentara Jepang, melihat Segara Anakan, dan memutari bibir pantai di mana di seberangnya nampak pulau yang terkenal di kalangan kaum kriminal dan koruptor kelas kakap : Nusakambangan.

Hari suporter nasional. Kaos koran ketiga saya, hadiah dari harian Bisnis Indonesia. Sebagai suporter Pasoepati, pendukung tim Pelita Solo, saya dan Mayor Haristanto (Presiden Pasoepati) bertandang ke Jakarta, 9-13 Juli 2000. Selain ke Senayan untuk menonton babak 8 Besar Liga Indonesia 2000, kami punya agenda lain.

Tanggal 12 Juli 2000 atas prakarsa redaktur sepakbola nasional Tabloid BOLA, Sigit Nugroho, para suporter pendukung tim yang sedang berlaga itu bertemu di kantor redaksi BOLA. Selain Pasoepati dari Solo dan Jakarta, hadir juga rekan-rekan dari Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta) dan Viking Jabodetabek. Dalam pertemuan itu saya mengusulkan, agar tanggal 12 Juli didaulat sebagai Hari Suporter Nasional. Secara aklamasi, semua yang hadir menyetujui. Gagasan saya ini kemudian tercatat pula di MURI.

Photobucket

Di antara hari-hari kami di Jakarta, saya dan Mayor sempat main pula ke kantor redaksi Harian Bisnis Indonesia, di Slipi. Kami datangnya pagi hari, saat para wartawan dan utamanya redaktur olahraganya, belum hadir. Ditemui oleh kepala bagian promosi yang kami kenal, karena ia pernah bertugas di koran Solopos, kami pun bertukar cenderamata, kaos Pasoepati ditukar dengan kaos Bisnis Indonesia (foto).

Kaos BOLA. Kaos (dari) koran saya berikutnya, 2002, memajang headmast koran dari Solo : Solopos. Ini akan menjadi cerita tersendiri. Selanjutnya, kaos dari media yang banyak saya miliki berasal dari tabloid BOLA.

Penyebabnya adalah, adik saya Broto Happy W., bekerja sebagai wartawan BOLA. Terlebih lagi, tabloid olahraga satu ini juga memiliki cabang usaha penjualan merchandising khusus BOLA.

Pada awalnya bisnis ini laris-manis. Termasuk sampai membuka gerai perwakilannya di Bandung, Yogya, juga di bekas markas Pasoepati, di Nayu, Solo. Sayang, bisnis ini kemudian ditutup. Kaos BOLA saya yang terakhir (foto paling atas) berupa kaos edisi peringatan saat tabloid itu memeringati HUT-nya yang ke-20, tahun 2004 yang lalu.

Hemat saya, ceruk bisnis untuk kaos-kaos bertema olahraga di Indonesia masih terbuka. Bahkan tiap cabang olahraga, menantang untuk diterjuni. Tetapi tentu saja dengan sentuhan kreativitas yang lain, serta tidak mengulangi lagi pendekatan seperti Tabloid BOLA tersebut. Jauh hari, saat usaha itu belum dilikuidasi, saya pernah kirim email ke BOLA tentang gagasan-gagasan baru untuk tema kaos mereka. Entah kenapa, tetapi tidak ada respon saat itu.

Kaos untuk loper ? Selain kaos dari Kompas 1979 di atas, saya berpendapat bahwa kaos-kaos yang diproduksi pelbagai penerbit media itu masih nampak tidak digagas secara serius dan kreatif. Jadi nasibnya, kaos-kaos itu sepertinya hanya cocok untuk dikenakan para loper koran belaka. Atau untuk para petugas kebersihan gedung kantor media. Mereka mendapatkannya secara gratisan.

Memanglah : apa sih menariknya bila pada kaos-kaos itu hanya terpajang nama koran bersangkutan ?

Ketika berkesempatan berkunjung ke ruang-ruang redaksi media massa, sepanjang yang saya pernah lihat dan amati, saya merasa jarang sekali dan bahkan boleh dikata tidak pernah melihat wartawan mengenakan kaos yang memajang nama media tempat mereka bekerja. Kalau orang dalam sendiri tidak suka, tidak tertarik dan tidak berbangga mengenakannya, apalagi untuk orang diluarnya ?

Kacamata konsumen. Mungkinkah, antara lain karena hal vital semacam di atas yang membuat bisnis merchandising termasuk kaos-kaos dari Tabloid BOLA itu misalnya, menjadi tidak prospektif, tidak lagi menguntungkan, dan akhirnya diputuskan untuk dimatikan ?

Pakar pemasaran Al Ries dan Jack Tout dalam bukunya Positioning : The Battle for Your Mind (1986) punya cerita yang kiranya menarik untuk disimak. Sekadar info : buku ini saya beli di Jakarta, 8 Juni 1987. Ada catatan sejarah pembelian buku itu sebagai : “Bonus bisnis sweater Tour Jawa-Bali 1987 SMA Tarakanita 2 Jakarta, 18 Juni – 29 Juni 1987.”

Saat itu saya mengelola klub penggemar kaos, Ideas T-Shirt Club (ITSC), dan salah satu anggotanya (“anggota tersayang”) merekomendasikan sekolahnya untuk membuatkan kaos tur itu pada ITSC.

Kembali ke Ries dan Trout. Keduanya berbicara mengenai perbedaan antara pola pikir inside-out thinking versus pola pikir outside-in thinking. Pola pikir pertama seringkali tidak disadari meracuni para pebisnis. Mereka, para produsen itu, tampil sebagai diktator selera.

Intinya, hanya dengan memajang nama media atau nama koran mereka di kaos, mereka berpikir orang lain akan menyukai dan bersedia mengenakannya. Hemat saya, itulah yang selama ini umum terjadi pada penerbitan kaos-kaos pada penerbit media kita. Termasuk pada kaos hadiah dari koran Bisnis Indonesia di atas.

Sementara itu kebalikannya, mereka yang menganut pola pikir yang kedua, bisa kita lihat buktinya pada kaos yang diterbitkan oleh koran The Washington Post. Mengambil momentum yang tepat, sesuatu yang berharga dan dikenal akrab oleh kalangan media, mereka kemudian memindahkan isi liputan korannya ke media kaos, dan menjualnya sebagai memorabilia.

Mereka memproduksi kaos itu dengan memperhatikan isu besar, denyut, kata hati sekaligus pandangan pembaca terhadap peristiwa besar tertentu yang menjadi liputannya.

Terlebih lagi peristiwanya memang sangat fenomental dan bersejarah. Menyangkut prestasi seorang Barack Obama sebagai warga negara berkulit hitam pertama yang menjadi presiden di negara adi daya, Amerika Serikat.

Jadilah kaos tersebut mampu menjadi benda bersejarah, yang bernilai tinggi. Baik sebagai kenangan dan juga terkait dengan nilai finansialnya kelak, berpuluh tahun kemudian, sebagai ikon sejarah. Seorang blogger kaos “Rude Retro” mengomentari kaos itu : Be a part of history with this limited edition Washington Post newspaper today.

Kaos yang dibuat dengan kreativitas dan wawasan mendalam memang mampu pula menjadi ikon sejarah. Saya pun hanya bisa bergumam : suasana pemilu umum presiden Indonesia 2009 kini sedang menuju titik didihnya dan tidakkah momen seperti ini mampu mengilhami media massa, atau produsen kaos topikal, untuk mengabadikannya ?


Wonogiri, 29/5/2009

kk

Kamis, 14 Mei 2009

Kaos Sejarah dan Insiden Trisakti 1998

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Indonesia membara. Tanggal 12-14 Mei 1998, Anda berada di mana, saat Indonesia membara ? Saya sendiri ada di Wonogiri. Setiap malam senantiasa mengikuti siaran BBC, Radio Hilversum dan Voice of America. Setelah selama 18 tahun tinggal di Jakarta, bulan Januari 1998, saya memutuskan untuk pulang kampung. Ternyata, saya harus juga ikut menjadi saksi saat Solo ikut membara, menjadi korban rembetan api kerusuhan di Jakarta.

Ketika Soeharto lengser, Radio Hilversum sempat mengutip tajuk rencana sebuah koran manca negara yang mengomentari peristiwa alih kekuasaan kepada Habibie. “Peralihan dari setan kepada roh jahat,” begitu bunyinya. Kartun majalah AsiaWeek (5/6/1998) melukiskan Indonesia sebagai mobil terbalik dan terbakar. Soeharto, sang supir nampak didalamnya. Teksnya berbunyi : Famous last words : “Vrooom, vrooooomm…”

Saat itu pula, Indonesianis asal AS, Ben Anderson di corong VoA, ikut mengomentari attitude seseorang tokoh militer yang diduga sebagai dalang kerusuhan Mei 1998 dengan melakukan penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Tokoh itu ia sebut sebagai “anti kaum intelektual.” Sosok bersangkutan masih mondar-mandir dalam konstelasi politik kelas tinggi Indonesia, saat ini.

Klub tshirt. Saya bukan alumnus Universitas Trisakti. Tetapi gara-gara mengelola klub pencinta kaos, Ideas T-Shirt Club (ITSC) di Jakarta, saya memiliki pacar mahasiswa Desain Produksi FTSP Trisakti. Adanya kaitan emosional semacam itulah, ketika ikut mencatat peristiwa lengsernya Soeharto sebagai bagian sejarah hidup pribadi, memicu saya untuk menulis surat pembaca.

Sebagai kaum epistoholik, saya telah menulis surat pembaca yang mengusulkan agar peristiwa Trisakti 1998 itu juga diabadikan dalam bentuk kaos. Untuk apa ?


Monumen Pahlawan Reformasi
Harian Bernas, Jumat Wage, 29 Mei 1998


Selamat jalan, pahlawan reformasi. Peristiwa terenggutnya nyawa rekan-rekan muda kita Hery Hartanto, Elang Mulyana, Hafidin Royan dan Hendriawan Lesmana pada senja hari Selasa 12 Mei 1998 yang pedih di kampus Universitas Trisakti, akan selalu dikenang dalam sanubari rakyat dan bangsa Indonesia.

Peristiwa brutal itu tak boleh terjadi lagi di masa depan. Untuk selalu berusaha menghidupkan-hidupkan semangat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, saya usulkan agar pihak terkait seperti organisasi Ikasakti (Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti) atau Universitas Trisakti sendiri, membangun sebuah monumen kenangan.

Monumen itu berbentuk situs web (kios informasi) di Internet, yaitu media komunikasi berskala global, egaliter dan demokratis, sejajar dengan ide besar yang diperjuangkan rakyat, mahasiswa Indonesia, dan para almarhum pahlawan reformasi.

Teknologi dan karakter situs web tersebut membuka dan memungkinkan secara komprehensif dikisahkan kejadian yang memilukan tersebut, cerita para saksi mata, kenangan para rekan sebangku kuliah dan dosen, sambutan para tokoh gerakan reformasi, bahkan para peziarah dari seluruh dunia pun dapat menorehkan kesan dan pesan di “webmemorial” ini.

Saya tahu, sumbang saran berikut sedikit kontroversi. Yaitu dimungkinkannya pada situs Web pahlawan reformasi tersebut dijual benda-benda kenangan (memorabilia) seperti t-shirt, pin/bros, alat-alat tulis, mug, foto, dan kreasi benda kenangan lainnya.

Keberatan yang muncul mungkin upaya pengumpulan dana ini dituduh sebagai upaya “sadis” karena mengkomersialkan kesedihan para keluarga yang ditinggalkan dan memperdagangkan peristiwa gugurnya mereka yang sama-sama tidak kita kehendaki.

Usulan itu didasari niat baik. Hasil pengumpulan dana dari hasil penjualan memorabilia itu, yang dikelola secara transparan dan profesional, dapat dimanfaatkan untuk hal-hal mulia untuk mengharumkan nama pahlawan reformasi kita. Mungkin untuk memberi beasiswa kepada pelajar berprestasi yang ingin kuliah di Trisakti, terutama untuk para pelajar anak-anak anggota ABRI, dan banyak sekali gagasan kreatif lain yang dapat disumbangkan oleh khalayak.

Kisah-kisah mengharukan dari balik layar, cucuran empati yang gigih bekerjasama dan tanpa pamrih dalam menopang logistik untuk para mahasiswa Indonesia pada saat-saat bersejarah, berdemo di Gedung MPR/DPR Senayan, membuktikan bahwa bangsa kita memiliki energi luhur yang luar biasa. (Foto dari majalah AsiaWeek, 5/6/2009, menunjukkan kegembiraan meluap saat mengetahui Soeharto lengser).

Keteladanan merekalah yang memicu usulan dan gagasan kecil ini demi terbangunnya webmemorial untuk para pahlawan reformasi agar kita bisa kenang dan teladani sepanjang masa.


Bambang Haryanto
Pekerja Internet di PlanetSolo
PO Box 2057/SloTP
Solo 57154


Wonogiri, 15/5/2009

Minggu, 10 Mei 2009

Kaos Sevilla, Kisah Cinta, Kisah Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com


Mata biru Spanyol. Ancaman pandemi flu babi kini sedang menghantui dunia. Beritanya sendiri, berita mengenai ancamannya oleh sebagian pengamat dinilai lebih menebarkan ketakutan dibanding penyakitnya. Tak ayal histeria semacam ini jadi bahan olok-olokan para komedian. Misalnya Jay Leno.

Ia bilang : “Selamat menikmati liburan musim panas. Saya tidak tahu akan pergi kemana. Yang pasti saya terjepit untuk memilih liburan antara naik kapal pesiar dekat pantai Somalia atau mengunjungi peternakan babi di Meksiko.”

Meksiko, yang menjadi awal penyebaran virus flu yang berlabel H1N1 ini, memang sedang menjadi bangsa paria. Setiap bandara di dunia akan mewaspadai dan memeriksa setiap penumpang yang baru datang dari negeri sombrero itu. Apakah Mexico kini sedang dikutuk oleh Tuhan ? Porfirio Diaz (1830–1915), pejuang revolusioner yang pernah menjadi presiden Mexico tahun 1877-1880 dan 1884-1911, pernah berujar : “Meksiko yang malang, begitu jauh dari Tuhan dan begitu dekat dengan Amerika Serikat.”

Kedekatan Meksiko dan AS, boleh jadi, dapat disimbolkan dalam lagu cinta yang terkenal : Spanish Eyes. “Mata biru Spanyol adalah mata paling indah dari seluruh Meksiko. Mata Spanyol Sejati sunggingkan senyum padaku sebelum aku pergi. Segera aku kan kembali, memberimu seluruh cinta yang mampu memenuhi hatimu.Kumohon katakan ya, ya. Katakan kau dan mata Spanyolmu akan menunggu kedatanganku.”

Please say si- si,
Say you and your Spanish eyes will wait for me

Photobucket

Miraflores Gypsy. Kata si berasal dari bahasa Spanyol. Artinya : ya. Kalau kata no do , yang terpampang di kaos ini, apa artinya ? Orang Meksiko pasti bisa menjawabnya.

Negeri asal pesepakbola Cuauhtemoc Blanco yang terkenal dengan aksi bunny hopping-nya ini pernah dijajah Spanyol sejak tahun 1521 dengan penaklukan oleh Hernando Cortez. Apakah kapal dari adegan terakhir film Apocalypto-nya Mel Gibson itu juga menggambarkan kedatangan conquistador Cortez ini ? Mexico merdeka tahun 1821.

Tak usah harus Ke Mexico, dengan resiko tertular flu babi, untuk tahu arti kata yang terpampang di kaos saya ini. Apalagi kaos ini juga tidak dibeli di Meksiko. Kaos ini dibeli di Sevilla, ibukota kawasan Andalusia di Spanyol bagian selatan. Kawasan yang kental dengan budaya Islam yang mendominasi sejak kehadiran bangsa Moor pada abad ke-8. Juga terkenal dengan sajian tari flamenco yang berakar dari budaya kaum gipsi di Andalusia.

Cerita tentang tarian flamenco yang bergairah itu mampu melemparkan saya untuk mengenang salah satu film yang terindah : The Miracle (1959). Dibintangi oleh Caroll Baker, Roger Moore dan Vittorio Gazman. Saya menontonnya tahun 70-an di Solo, di gedung bioskop UP, yang setiap pembukaannya selalu memutar lagu instrumentalia dari Glenn Miller.

Gedung bioskop ini penuh kenangan. Saya pernah menulis surat pembaca, isi protes. Pasalnya, saat film mendekati akhir dan tentu saja klimaks, petugas sudah menggeser tirai pintu keluar. Suaranya lumayan keras. Bagi saya ini teror, sangat mengganggu kenikmatan, karena mengisyaratkan film akan segera usai.

Saya juga protes karena credit title tidak ditayangkan penuh. Sebagai orang yang suka mengamati, menulis dan bercerita, data kasting sampai judul-judul lagu dalam film tersebut, menjadi perhatian saya. Syukurlah, surat pembaca saya itu diperhatikan oleh manajemen bioskop Ura Patria (UP) saat itu. Kini gedung UP tersebut tinggal kenangan. Sudah digantikan oleh ruko alat-alat elektronik.

Film The Miracle berkisah mengenai kisah cinta antara biarawati Spanyol dengan opsir Inggris muda dengan latar belakang Perang Napoleon. Ketika biarawati itu, Teresa, sedang diamuk asmara dan memutuskan keluar dari biara untuk menyusul sang kekasih, terjadilah hal yang luar biasa. Patung Bunda Maria yang berada di kompleks itu menjadi hidup, menjadi manusia, menggantikan Teresa yang pergi.

Mengiringi patung suci yang menghilang itu telah turun hujan deras. Tetapi merupakan hujan yang terakhir, karena daerah itu beruntun dirundung bencana demi bencana, antara lain kekeringan yang dahsyat. Hidup Teresa pun, setelah kabur dari biara, penuh dengan gelombang, drama dan romantika.

Ketika mendengar kabar bahwa kekasihnya sudah tewas, ia lalu berganti-ganti jatuh dalam pelukan pria lain. Ia bergabung dalam kelompok kesenian gipsi, keliling Eropa. Ia terkenal dengan sebutan gipsi Miraflores. Kekasih gipsinya tewas, ditembak saudaranya sendiri yang cemburu. Teresa kemudian jatuh cinta dengan seorang matador. Mungkin takdir, siapa saja yang mencintai dirinya akan menderita bencana yang sama : tewas. Matador kekasihnya kali ini, tewas diseruduk banteng di arena.

Opsir Inggris, cinta pertamanya itu, ternyata masih hidup. Mereka bisa bertemu, ketika kekasihnya menjelang berangkat ke medan perang. Inggris lawan Perancis. Perang Waterloo. Tetapi Teresa yang tahu bahwa kematian pasti akan menghampiri sang kekasih, ia memutuskan diam-diam untuk meninggalkannya. Ia meninggalkan surat. Kekasihnya tertembak di peperangan, tetapi selamat. Saat itu Teresa bersiteguh memilih kembali untuk mengabdi Tuhan. Teresa pun menempuh perjalanan kembali ke biaranya semula.

Saat ia tiba, hujan deras turun. Patung Bunda Maria yang selama ini hilang, hadir kembali. Warga desa itu bahagia ketika kembali hujan turun, kejadian yang bertahun-tahun tidak mereka alami. Keajaiban memang telah terjadi.


Pemberontak Basque. Kisah mengenai biarawati, bahkan empat orang, yang juga penuh gejolak dihadirkan oleh Sidney Sheldon (1917-2007) dalam novelnya The Sands of Time (1988). Diterjemahkan dengan judul Butir-butir Waktu, pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas. Diterjemahkan, kalau ingatan saya masih baik, oleh Gyani Buditjahya, yang dalam suatu acara pameran buku di Jakarta saya pernah bertemu dan memujinya.

Potongan cerita dari novel indah dan mencengkam ini, dengan latar belakang pemberontakan kaum Basque di Spanyol Utara, menjadi inspirasi saya ketika mendeklarasikan tanggal 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional. Bahkan juga saya ungkap kembali ketika mengikuti kontes impian yang diadakan oleh fabrikan mobil Honda di Indonesia, dalam ajang The Power of Dreams Contest 2002.

Saya mengajukan impian mengubah budaya suporter sepakbola kita yang destruktif menjadi pelaku hiburan kolosal yang atraktif dan sportif dalam totalitas pemanggungan teater sepakbola Indonesia.

Intinya adalah, dengan mengambil tamsil adu banteng di Spanyol, selama ini dua kesebelasan yang bertanding ibarat banteng melawan matador. Kita para penonton hanya berstatus sebagai penonton. Titik. Tetapi di Spanyol juga, di Pamplona, ada ritus pertunjukan adu banteng yang lain, yang tidak kalah atraktif dan brutalnya.

Yaitu adegan ketika banteng-banteng ganas dilepaskan untuk mengamuk, menyusuri lorong-lorong kota Pamplona.Dalam novel The Sands of Time peristiwa itu menjadi latar belakang pembebasan pentolan pemberontak Basque (Juan Miro) dari penjara. Gemuruh dan gairah para penonton yang berlarian untuk menggoda sekaligus menghindari serudukan banteng, menghadirkan peran ganda : mereka sebagai penonton dan sekaligus juga sebagai pelaku pertunjukan.


Tesis saya, adu banteng a la Pamplona itulah seharusnya yang dianut oleh suporter sepakbola Indonesia. Bahkan juga suporter sepakbola seluruh dunia. Biarlah kedua tim yang bertanding berjalan sesuai aturan, secara profesional, sementara para suporter menghadirkan dirinya sebagai pelaku utama dari totalitas teater sepakbola dengan aksi-aksi yang dirancang secara mandiri. Ketika para pemain bertanding, para suporter kedua belah fihak beradu konser, baik nyanyi dan koreografi, sehingga mampu membakar atmosfir stadion dalam gairah dan sportivitas.

Impian dan cita-cita saya ini (dalam foto saya memegang trofi yang ada tanda tangan pendiri Honda, Soichiro Honda dan tulisan kanji bermakna “impian”) telah didokumentasikan dalam film The Power of Dreams Documentary 2002, ditayangkan satu jam penuh di TransTV, 29 Juli 2002. Impian itu memang masih jauh menjadi kenyataan dalam atmosfir sepakbola Indonesia saat ini.

Baiklah. Film dokumentasi dalam bahasa Spanyol diterjemahkan sebagai no do. Atau dalam bahasa Inggris adalah : newsreels. Secara sepintas, ketika belum membuka-buka kamus Spanyol-Inggris, saya tidak tahu apa pesan yang tertera di kaos satu ini.

Kaos ini, yang terbeli oleh adik saya Broto Happy W. ketika meliput turnamen bulutangkis kelas dunia (Piala Sudirman ?) di Sevilla, saya lupa tahunnya. Kalau ada data baru, nanti akan saya revisi. Saya juga tidak atau belum tahu, mengapa kota Sevilla ini begitu mempromosikan no do ini kepada para wisatawan. Apakah kota ini terkenal sebagai pusat arsip film Spanyol dan Eropa ?

Sebagai pencinta kaos, saya hanya mampu bergumam : desain yang sederhana dan menarik, walau tanpa memahami artinya, konsumen ternyata tetap membelinya. Tentu saja, daya tariknya yang utama adalah nama kota yang tercantum di dalamnya : Sevilla.

Tapi ngomong-ngomong, dengan ornamen yang sama, ketika kata no do saya ganti, misalnya dengan kata dadung, yang artinya tali, atau diganti dengan kata nodong, dan kotanya saya ganti dengan Wonogiri, kira-kira adakah wisatawan yang mau membelinya ? Pertanyaan yang ngawur dan asal-asalan.


Wonogiri, 11 Mei 2009

Minggu, 03 Mei 2009

Politisi Pinokio dan Kaos Dari BBC

Photobucket

”Kalau Saya Jadi Presiden, saya memacu ilmuwan dunia membuat pil ajaib yang khasiatnya membuat hidung akan memanjang setiap kali si penenggak pil itu berbuat culas dan bohong. Ingat dongeng Pinokio, bukan ?

Saya sebagai presiden, wakil presiden, para menteri dan seluruh pejabat negara, saat disumpah harus menelan pil ajaib itu. Tinggal kemudian rakyat yang mengawasi, siapa-siapa saja yang hidungnya memanjang (kecuali disengat lebah !), maka pejabat itu pasti korup dan jabatannya harus segera diakhiri !”

Itulah ungkapan pendapat saya yang diudarakan Radio BBC Siaran Indonesia, 5 Juni 2004. Saya kemudian dihadiahi kaos (foto) yang kadang masih saya kenakan. Termasuk tiga tahun kemudian, pada tanggal 8/10/2007 malam, ketika saya tiba-tiba mendapat telepon dari BBC Siaran Indonesia.

Dari reporternya, Donny Maulana.

Rupanya, dengan bantuan mesin pencari Google, ia menemukan blog saya, Komedikus Erektus ! yang merupakan sumbang saran saya semampunya untuk ikut mendorong kemajuan komedi di Indonesia. Ia mendaulat saya untuk membicarakan fenomena klub komedi sebagai kawah chandradimuka, ajang penggemblengan komedian-komedian solo yang cerdas, demi kemajuan masa depan komedi Indonesia.

Sebagai orang kampung, yang tinggal di Wonogiri, kesempatan ngobrol seperti ini sungguh tak terbayangkan. Apalagi tentang klub komedi, sebuah topik yang tak pernah disentuh beragam media mainstream di Indonesia selama ini.

Karena antusias, saya sempat mengungkapkan keberadaan klub komedi sebagai fenomena gaya hidup urban, oasis cerdas bagi mereka yang sudah muak atau tidak puas dengan suguhan-suguhan komedi yang ada di televisi. Juga diimbuhi ilustrasi bagaimana sosok-sosok komedian solo di AS, seperti Conan O’Brien atau Andy Borowitz, adalah lulusan magna cum laude dari Universitas Harvard. Selain Effendi Gazali, siapa komedian “sekolahan” kita saat ini ?

Nara sumber lainnya adalah Ramon P Tommybens, pendiri Comedy Cafe Indonesia (1997), kafe pertama di Indonesia dengan konsep komedi. Silakan kunjungi di Pasar Festival Kuningan, Jakarta. Obrolan itu telah disiarkan pada hari Minggu, pada acara Seni dan Budaya, jam 18.00, 14 Oktober 2007.

Peristiwa itu telah berlalu. Kaos dari BBC lima tahun lalu itu, yang desainnya sederhana itu, masih tetap saya kenakan di rumah saja. Begitulah, setiap kaos memang punya cerita. Kenakan. Kenangkan. Kisahkan.

Wonogiri, 4 Mei 2009.