Kamis, 18 Juni 2009

Diana, Kaos Kamboja dan Ranjau Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kisahkaos (at) gmail.com



Minggu muram. “Hari itu adalah momen abadi dalam hidupmu,” tulis Martin Amis, novelis Inggris, dalam kolomnya di majalah Time, 15/9/1997 (foto). Dengusnya itu muncul setelah melihat tayangan televisi CNN yang mengabarkan bahwa Putri Diana meninggal dunia.

Ia katakan kepada dua putranya, “kau akan selalu teringat dimana kamu berada dan siapa dirimu ketika kau mendengar berita ini.”

Terima kasih, Martin. Tanggal itu adalah 31 Agustus 1997. Hari Minggu. Melalui acara Seputar Indonesia RCTI, jam 18.45, saya memperoleh berita tentang meninggalnya Diana di Paris. Saat itu saya tinggal di Pustaka Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur. Hari minggu itu, kebetulan bagi saya, memang hari yang muram.

Beautiful girl. Saat pagi hari, ketika melakukan olahraga jalan kaki pagi di Lapangan Pulomas, saya bisa memergoki lagi si grasshopper, si belalang. Saat itu aku memakai kaos “DKI Jaya : Cycling.” Pertemuan terakhir, 25 Mei 1997 di tempat yang sama. Ah, grasshopper. Ini kode, nama rekaan, untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan.

Ia selalu datang sendirian di Lapangan Pulomas. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam. Tentu saja bukan pada kelompok senam pernafasan, yang didominasi kaum sepuh, para manula.

Ia ideal untuk sosok pemain bola voli. Atau model. Tingginya sekitar 168-170 cm. Menjulang dan menonjol. Selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, ada feeling, walau tanpa tahu nama masing-masing.

Seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya sebagai beautiful girl, seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Tentang gadis menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti “gita di waktu malam.” Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997.

Koneksi kepleset. Mungkin ia kecewa. Gestur agresif yang ia munculkan pagi itu, yang menandakan keinginannya untuk bisa saling mengenal di saat itu, tidak saya tanggapi secara memadai. Habis,saat itu saya merasa rada syok, gembira, juga telat mikir. Akibat self conscious yang tidak tepat dosisnya. Asmara memang sering membuat jadi dungu. Di mata dia, salah tingkah saya saat itu bisa saja memunculkan asumsi yang ia nilai sebagai hal yang sebaliknya. Itulah rupanya yang terjadi.

Akibatnya fatal. Minggu-minggu berikutnya ia tak muncul lagi. Sampai Minggu 31 Agustus 1997. Kita bisa berpapasan lagi. Ia tetap bertopi, berkaos putih, memakai legging merah, tetapi tak ada api yang menyala ketika kita bisa clash pandangan lagi.

Saya tulis di buku harian saya : “Oh Tuhan, mengapa pesona dan kecantikan yang membiusku sejak Mei 1997 itu tak bergema lagi ? Ada sebagian pada diriku yang mati, ada api yang menjadi padam dan ada segurat kepedihan merujiti hatiku. Mengapa ?”

Sampai awal Januari 1998, di Lapangan Pulomas, si belalang itu tidak pernah saya temui lagi. Di hari minggu-minggu berikutnya ketika saya mempersiapkan diri untuk bersikap lebih baik lagi, momennya yang tidak datang. Sesudah Januari itu, ketika badai krismon mengamuk, ketika koran-koran tidak lagi menerima tulisan dari luar, saya meninggalkan Jakarta. Sampai kini.

Kabar sedih belum berhenti hari itu. Ketika membaca Kompas Minggu, termuat berita mengenai wafatnya Prof. Dr. Gorys Keraf dalam usia 60 tahun. Bagi pemerhati bahasa Indonesia, pasti tahu siapa dia. Bagi saya pribadi, beliau adalah ketua tim penguji saat saya mengikuti ujian skripsi JIP-FSUI di Kampus UI Rawamangun, 27 November 1984. Beliau pula yang mengumumkan kelulusan dan nilai skripsi saya. “Semoga Anda senantiasa tentram di sisi Tuhan kini, Pak Gorys Keraf.”

Momen meleset, koneksi terpeleset itu, tentu tidak sendirian saya alami. Sehingga seorang wiraswastawan Internet terkenal, Craig Newmark, telah melabeli momen seperti ini sebagai missed connections dan kini menjadi salah satu layanan dalam situsnya yang terkenal. Tetapi saya tetap sangsi, apakah karya jenius dari Craig Newmark itu mampu menolong diri saya, sampai saat ini. Mungkin seperti menunggu bintang jatuh.

[Maaf, cerita Kaos Kamboja ini masih akan berlanjut]

kk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar