Kamis, 30 April 2009

Revolusi Bisnis Kaos di Solo

Photobucket

Surat pembaca. Sekitar sebelas tahun lalu, saya menulis surat pembaca ini. Isinya mengajak para pebisnis kaos Solo untuk memperluas cakrawala bisnisnya.

Ajakan yang belum bersambut. Tak apa. Kini saya ulangi dengan memajang di blog ini.

DVC : Dagadu Virtual Community, 1998

Surat Bambang Haryanto
Tentang Ekonomi Jaringan Untuk Dagadu


Photobucket

Era Ekonomi Jaringan. Kevin Kelly dalam artikel seminalnya di majalah Wired (September 1997) antara lain menandaskan harus makin terbukanya hubungan antara perusahaan dan konsumen. “Semakin terbukanya pelbagai dimensi bagi anggota untuk memberi masukan dan kreasi, semakin meningkat pula hasil keuntungan bagi seluruh jaringan, sehingga sistem mampu menghidupi dirinya sendiri untuk meraih kemakmuran secara bersama,” tandasnya. Artikel Kevin Kelly ini yang sekarang sudah dibukukan, mengilhami saya untuk menulis “ide edan” untuk Dagadu di bawah ini. Surat ini tidak memperoleh balasan.

Jakarta, 17 Januari 1998

Yth. Bung Ahmad Noor Arief
dan seluruh kerabat Dagadu di Djogdjakarta

Assalaamu’alaikum Wr.Wb.

Senang sekali saya membaca media massa yang mewartakan kisah sukses Anda-Anda semua. Yang terakhir saya melihatnya di Gatra (dengan foto para personil Dagadu yang …wow..keren !) dan di Kompas (6 Desember 1997) yang lalu. Salut !

Anda-Anda dan Dagadu adalah hero saya. Dalam arti bahwa saya melihat Dagadu bukan sekadar perusahaan pembuat/penjual kaos plesetan, melainkan sebagai perusahaan yang berbisnis infotainment (information + entertainment). Sajian infotainment a la Dagadu yang membedakan produk Anda dari produk sejenis yang dihasilkan oleh perusahaan lain (saya sebut di surat, tetapi saya hilangkan di posting ini).

Mungkin Anda tak setuju. Mungkin saya keliru berpendapat : kalau Dagadu memandang bisnisnya adalah kaos plesetan, maka –saya kuatir- bisnis Anda hanyalah fads. Ia seperti fenomena kubus Rubik, Tamagotchi, yang sebentar hot banget dan lalu menghilang popularitasnya ditelan waktu.

Tetapi kalau Anda mau mengubah paradigma pikiran bahwa Dagadu itu bisnis intinya adalah infotainment, banyak peluang terbuka di abad 21. Salah satunya, mungkin ini ide agak edan, saya berani memvisikan ke depan bahwa bila dikelola dengan baik maka Dagadu sat ini adalah benih yang berpotensi besar untuk menjadi perusahaan raksasa infotainment seperti Disney. Bayangkan, Anda semua bakal jadi pemegang saham theme park a la Disney di Orlando (AS), Jepang atau Paris, yang bernama : Dagaduland !

Mengapa saya berani “gila,” berkhayal-khayal, seperti itu ? Justru Anda-Anda semua yang menjadi pemicunya !

Pemicu ide edan diatas adalah sajian iklan “Awas Barang Aseli !” Anda di Kompas (17 Desember 1997). Iklan itu menarik. Tetapi ia akan lebih menarik bagi para dagadumania bila mereka selain anda ingatkan mengenai ciri-ciri dan layanan khusus a la Dagadu, juga diinfokan bahwa mereka layak diberi hadiah.

Hadiah untuk pelanggan Dagadu bukan gelas/piring, atau uang. Tetapi sesuatu yang sangat berharga dan amat dibutuhkan oleh tiap-tiap individu manusia : perasaan berharga bahwa dirinya dibutuhkan.

Konkritnya : daulat mereka sebagai warga utama Dagadu. Beri mereka saluran untuk memudahkan berinteraksi dengan Anda, sebagai teman/sahabat/rekanan mereka. Bukakan peluang mereka berinteraksi dengan sesama Dagadumania.

Interaksi ini baru langkah pertama untuk membangkitkan gerakan madani. Madani = civil society ? Bukan. Melainkan madani = masyarakat dagadu nirwujud (dagadu virtual community/DVC). Teknologi masa kini memungkinkan DVC !

Kalau sudah memasuki “DVC” maka Dagadu memasuki tahap sebagai bisnis yang higher level. Pendaulatan konsumen sebagai warga utama Dagadu dan pengoperasian DVC, akan memungkinkan terjadinya revolusi bisnis : mereka membeli produk-produk Dagadu hasil disain mereka (!) sendiri.

Produk-produk Dagadu makin unik, menjadi amat personal, tetapi dimungkinkan di-charge dengan harga premium. Pola bisnis personal inilah bisnis yang bakal tidak luntur oleh pergantian generasi, selera, atau jaman. Itu semua dimungkinkan terjadi di Dagaduland !

Semoga silaturahmi dan provokasi ide ini, ada manfaatnya. Jangan difikir terlalu serius ya ?

Wassalaamu’alaikum Wr.Wb.

Bambang Haryanto
Pengagum Dagadu

PS : Bung Ahmad, terima kasih untuk surat Anda yang lalu. Saya bisa memahami GBHN-nya Dagadu saat ini. Bagaimana dengan provokasi ide yang satu ini ?

Demokrasi, Diriku dan Dagadu, 1997

Berbalas surat tentang kaos
untuk mempromosikan gerakan demokrasi


Photobucket
1997 : Indonesia Bergolak. Majalah TIME (26 Mei 1997) melaporkan situasi Indonesia yang memanas menjelang pemilu 1997. “Tak diragukan lagi, Suharto akan menang besar dalam pemilu minggu ini, tetapi Indonesia yang rapuh memulai awal politik masa depan tanpa dirinya,” tulisnya. Ramalan yang menjadi kenyataan, 21 Mei 2008, saat Suharto tumbang. Apakah ada kaos yang ikut menjadi embrio dan sekaligus memotret pergolakan bangsa kita menuju demokrasi saat itu ?


Jakarta, 16 Juli 1997

Yth. Rekan-rekan di DAGADU yang kreatif dan sukses,

Semoga bisnis t-shirt Anda makin sukses. Mohon maaf, saya ingin sedikit menghimbau : semoga 1-2 atau 5 persen sukses Anda itu sudi Anda alokasikan untuk merancang aneka t-shirt yang mempromosikan gerakan demokrasi – sesuai dengan cara, visi dan aksi yang Anda yakini !

Siapa tahu, himbauan ini akan membukakan cakrawala kita yang lebih luas tentang masa depan. Anda punya komentar ? Saya nantikan.

Sukses untuk Dagadu !

Hormat saya,

Bambang Haryanto
PO Box 6255/Jatra
Jakarta 13062


Balasan Dagadu :

Yang terhormat
Mas Bambang Haryanto
PO Box 6255/jatra
Jakarta 13002

Assalaamu’alaikum Wr.Wb.

Barangkali, kesempatan silaturahmi adalah berkah yang harus senantiasa disyukuri. Karenanya, surat Mas BH bertanggal 16 Juli 1997 (kami menerimanya lima hari kemudian) serta kartu pos bertanggal 5 April 1997 (yang barusan ketemu setelah kami cari lebih dari tiga bulan akibat ketlingsut dalam berantakannya filing kami) benar-benar menjadi tegus sapa yang selama ini amat kami nantikan.

Untuk itu, izinkan kami berterima kasih atas perhatian Mas BH selama ini. juga atas kesediaan Mas BH meluangkan waktu untuk menuliskan usul yang sungguh menggoda dan menantang.

Terus terang, sudah sejak lama kami ingin dapat terlibat dalam “tema-tema besar” semacam pelestarian lingkungan, hak asasi manusia, feminisme ataupun –yang selalu menjadi panglima dalam wacana diskusi kontemporer kita – demokrasi.

Bisa nyangkut-nyangkut ke dalam perbincangan seputar hal itu, jujur saja, rasa-rasanya bukan Cuma menjadikan kami merasa dapat menyahut panggilan jaman atau menjawab tuntutan akal nurani sehat, melainkan juga memberikan “keuntungan” besar lainnya : citra (atau gengsi ?) intelektual.

Celakanya, sampai saat ini kami ternyata belum juga pe-de terhadap kemampuan kami untuk berbagi opini itu semua. Padahal, rasa-rasanya pula, kami sudah selalu berusaha keep in touch dengan pelbagai informasi dan pemikiran yang bersangkut-paut dengan itu – dalam kadar keterlibatan sebatas kemampuan yang ada, tentu saja.

Tetapi entah kenapa rasa pe-de itu tak datang-datang juga. Apakah ini semacam keminderan yang akut atau kemalasan berpikir yang kronis, kami tidak tahu pasti.

Tapi kalau mau jujur lagi, kadang-kadang memang ada kegenitan untuk memberi justifikasi yang “agak tinggi” terhadap segala yang kami kerjakan. Ketika berplesetan-ria, misalnya, kami berandai-andai seolah-olah kami telah ikut menyatakan perlunya multiinterpretasi –dan bukan monopoli tafsir—terhadap suatu simbol atau tanda, yang pemaknaannya barangkali akan sangat bagus jika tidak berada dalam genggaman otoritas sekelompok orang melainkan tumbuh pada ranah publik.

Juga sangat mengangkat hal-hal keseharian sebagai tema rancangan, kami juga berandai-andai lagi seolah-olah kami telah ikut mengutarakan sikap bahwa ruang publik tidak selayaknya hanya disesaki dengan segala yang bersifat grand : bahkan ordinaryness-pun layak mendapat tempat.

Lalu sewaktu mengusung lokalitas, kami berkhayal seakan-akan sedang berada di jalur semangat regionalisme sembari pura-pura mengenyahkan pikiran tentang dominasi pusat dan inferiotas pinggiran. Wah, wah, wah…..

Mungkin itu tadi Cuma ilusi asal-asalan. Tapi paling tidak, dengan menganggapnya sebagai “Cuma ilusi asal-asalan,” kami coba belajar menertawakan diri sendiri. Siapa tahu dengan makin rendah hati kita bisa makin menerima kehadiran the others. Siapa tahu………… Ya, siapa tahu.

Oke, sekali lagi terima kasih berat atas perhatian dan saran Mas BH. Semoga Tuhan melapangkan jalan bagi beragam upaya menuju kemaslahatan bersama.

Wassalaamu’alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 23 Juli 1997

Teriring salam hormat dari seluruh kerabat Dagadu,

Ahmad Noor Arief