Berbalas surat tentang kaos
untuk mempromosikan gerakan demokrasi
1997 : Indonesia Bergolak. Majalah TIME (26 Mei 1997) melaporkan situasi Indonesia yang memanas menjelang pemilu 1997. “Tak diragukan lagi, Suharto akan menang besar dalam pemilu minggu ini, tetapi Indonesia yang rapuh memulai awal politik masa depan tanpa dirinya,” tulisnya. Ramalan yang menjadi kenyataan, 21 Mei 2008, saat Suharto tumbang. Apakah ada kaos yang ikut menjadi embrio dan sekaligus memotret pergolakan bangsa kita menuju demokrasi saat itu ?
Jakarta, 16 Juli 1997
Yth. Rekan-rekan di DAGADU yang kreatif dan sukses,
Semoga bisnis t-shirt Anda makin sukses. Mohon maaf, saya ingin sedikit menghimbau : semoga 1-2 atau 5 persen sukses Anda itu sudi Anda alokasikan untuk merancang aneka t-shirt yang mempromosikan gerakan demokrasi – sesuai dengan cara, visi dan aksi yang Anda yakini !
Siapa tahu, himbauan ini akan membukakan cakrawala kita yang lebih luas tentang masa depan. Anda punya komentar ? Saya nantikan.
Sukses untuk Dagadu !
Hormat saya,
Bambang Haryanto
PO Box 6255/Jatra
Jakarta 13062
Balasan Dagadu :
Yang terhormat
Mas Bambang Haryanto
PO Box 6255/jatra
Jakarta 13002
Assalaamu’alaikum Wr.Wb.
Barangkali, kesempatan silaturahmi adalah berkah yang harus senantiasa disyukuri. Karenanya, surat Mas BH bertanggal 16 Juli 1997 (kami menerimanya lima hari kemudian) serta kartu pos bertanggal 5 April 1997 (yang barusan ketemu setelah kami cari lebih dari tiga bulan akibat ketlingsut dalam berantakannya
filing kami) benar-benar menjadi tegus sapa yang selama ini amat kami nantikan.
Untuk itu, izinkan kami berterima kasih atas perhatian Mas BH selama ini. juga atas kesediaan Mas BH meluangkan waktu untuk menuliskan usul yang sungguh menggoda dan menantang.
Terus terang, sudah sejak lama kami ingin dapat terlibat dalam “tema-tema besar” semacam pelestarian lingkungan, hak asasi manusia, feminisme ataupun –yang selalu menjadi panglima dalam wacana diskusi kontemporer kita – demokrasi.
Bisa
nyangkut-nyangkut ke dalam perbincangan seputar hal itu, jujur saja, rasa-rasanya bukan Cuma menjadikan kami merasa dapat menyahut panggilan jaman atau menjawab tuntutan akal nurani sehat, melainkan juga memberikan “keuntungan” besar lainnya : citra (atau gengsi ?) intelektual.
Celakanya, sampai saat ini kami ternyata belum juga
pe-de terhadap kemampuan kami untuk berbagi opini itu semua. Padahal, rasa-rasanya pula, kami sudah selalu berusaha
keep in touch dengan pelbagai informasi dan pemikiran yang bersangkut-paut dengan itu – dalam kadar keterlibatan sebatas kemampuan yang ada, tentu saja.
Tetapi entah kenapa rasa
pe-de itu tak datang-datang juga. Apakah ini semacam keminderan yang akut atau kemalasan berpikir yang kronis, kami tidak tahu pasti.
Tapi kalau mau jujur lagi, kadang-kadang memang ada kegenitan untuk memberi justifikasi yang “agak tinggi” terhadap segala yang kami kerjakan. Ketika berplesetan-ria, misalnya, kami berandai-andai seolah-olah kami telah ikut menyatakan perlunya multiinterpretasi –dan bukan monopoli tafsir—terhadap suatu simbol atau tanda, yang pemaknaannya barangkali akan sangat bagus jika tidak berada dalam genggaman otoritas sekelompok orang melainkan tumbuh pada ranah publik.
Juga sangat mengangkat hal-hal keseharian sebagai tema rancangan, kami juga berandai-andai lagi seolah-olah kami telah ikut mengutarakan sikap bahwa ruang publik tidak selayaknya hanya disesaki dengan segala yang bersifat
grand : bahkan
ordinaryness-pun layak mendapat tempat.
Lalu sewaktu mengusung lokalitas, kami berkhayal seakan-akan sedang berada di jalur semangat regionalisme sembari pura-pura mengenyahkan pikiran tentang dominasi pusat dan inferiotas pinggiran.
Wah, wah, wah…..Mungkin itu tadi Cuma ilusi asal-asalan. Tapi paling tidak, dengan menganggapnya sebagai “Cuma ilusi asal-asalan,” kami coba belajar menertawakan diri sendiri. Siapa tahu dengan makin rendah hati kita bisa makin menerima kehadiran
the others. Siapa tahu………… Ya, siapa tahu.
Oke, sekali lagi terima kasih berat atas perhatian dan saran Mas BH. Semoga Tuhan melapangkan jalan bagi beragam upaya menuju kemaslahatan bersama.
Wassalaamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 23 Juli 1997
Teriring salam hormat dari seluruh kerabat Dagadu,
Ahmad Noor Arief